Bisnis.com, JAKARTA — Untuk menekan angka obesitas anak maka Kemenkes menggandeng Unicef dan Novo Nordisk menciptakan lingkungan pangan sehat di Indonesia.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menekankan bahwa obesitas tidak hanya berdampak pada aspek kesehatan, tetapi juga membawa konsekuensi sosial dan ekonomi. Dia mengatakan bahwa angka obesitas harus dikendalikan.
Siti mengungkapkan bahwa jika tidak ditanggulangi, obesitas akan menjadi beban pembiayaan besar bagi negara di masa depan. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerapkan sejumlah strategi pencegahan dan pengendalian.
“Salah satu langkah yang dilakukan adalah pembatasan waktu tayang, lokasi, dan sasaran iklan produk pangan tinggi GGL (gula, garam, dan lemak), khususnya yang ditujukan kepada anak-anak dan remaja,” ungkapnya, Kamis (10/7/2025).
Menurutnya, pengendalian obesitas anak bisa dimulai dengan mendorong perubahan perilaku konsumsi masyarakat ke arah yang lebih baik. Cara yang dilakukan pemerintah untuk menekan obesitas yakni Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bekerja sama dengan UNICEF dan Novo Nordisk untuk mendorong terciptanya lingkungan pangan yang lebih sehat bagi anak-anak.
Di Indonesia, data menunjukkan bahwa pada tahun 2023, 1 dari 5 anak usia 5–12 tahun dan 1 dari 7 remaja usia 13–18 tahun mengalami kelebihan berat badan dan obesitas. Selain itu, hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat bahwa prevalensi obesitas secara nasional telah mencapai 25%, dengan tren yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Kemenkes bersama UNICEF dan Novo Nordisk menggalang advokasi guna menciptakan lingkungan pangan sehat sebagai langkah pencegahan obesitas. Inisiatif ini juga menyoroti perlunya melindungi anak dari iklan makanan tidak sehat di media sosial.
“Bersama Komdigi kami dapat melakukan restriksi (pembatasan) terhadap iklan-iklan yang bisa mempengaruhi anak-anak dan remaja,“ ungkap Siti Nadia Tarmizi.
Obesitas merupakan ancaman serius yang dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit kronis seperti penyakit jantung, diabetes melitus, hipertensi, dan sejumlah komplikasi lainnya. Jika tidak segera ditangani, kondisi ini berpotensi menyebabkan peningkatan angka kematian dalam jangka panjang.
Dr. Alison Feeley, perwakilan dari UNICEF, menjelaskan bahwa iklan makanan tidak sehat memiliki sejumlah dampak negatif bagi anak-anak.
Iklan makanan tidak sehat bisa berdampak yakni:
1. Anak-anak yang lebih besar jadi lebih sering membeli makanan yang diiklankan, bahkan dengan uang mereka sendiri.
2. Anak-anak kecil sering merengek atau memaksa orang tuanya untuk membeli makanan yang diiklankan (disebut pester power), sehingga orang tua kesulitan memberikan makanan sehat.
3. Makanan tidak sehat yang diiklankan jadi terlihat normal dan biasa di masyarakat, bahkan sampai anak tumbuh dewasa.
Iklan makanan seperti ini juga memiliki dampak tidak langsung yang mempengaruhi kebiasaan makan anak di masa depan.
Lebih lanjut, UNICEF menyoroti bahaya media digital yang semakin persuasif. Anak-anak menjadi kelompok yang rentan terhadap iklan digital, terutama karena keberadaan influencer yang luas jangkauannya dan mampu memengaruhi pilihan makanan mereka.
UNICEF menemukan bahwa 3 dari 4 responden U-Report (atau sekitar 72%) mengaku sering atau selalu melihat iklan minuman manis, makanan cepat saji, dan camilan kemasan. Sebanyak 74% dari iklan tersebut muncul di media sosial, dengan influencer dan selebriti menjadi faktor pemengaruh yang tampil di iklan.
Untuk mengatasi permasalahan ini, UNICEF menawarkan sejumlah rekomendasi kebijakan, di antaranya:
- Menerapkan aturan wajib yang membatasi iklan makanan tidak sehat di semua jenis media, termasuk platform digital.
- Menyusun dan mengesahkan Model Profil Gizi (NPM) nasional, untuk menentukan produk mana yang boleh dipasarkan kepada anak-anak, sesuai dengan standar WHO.
- Memperkuat sistem pemantauan dan penegakan hukum dengan mengacu pada praktik terbaik dari negara lain, seperti pelarangan iklan makanan tidak sehat bagi anak-anak di Inggris dan Norwegia.
- Menuntut pertanggungjawaban sektor swasta, karena regulasi yang hanya bersifat sukarela tidak cukup untuk melindungi anak-anak. (Muhamad Ichsan Febrian)