Bisnis.com, JAKARTA – Paparan informasi yang berlebih dan tidak berkualitas dapat memberikan dampak negatif yang disebut dengan “Brain Rot” atau kerusakan otak.
Peradaban teknologi yang semakin berkembang menciptakan arus informasi yang tidak bisa dikontrol. Keadaan ini juga menuntut orang-orang untuk terus update tentang peristiwa yang terjadi. Namun, kondisi ini tidak sejatinya baik untuk terus dilakukan sehari-hari.
Apa itu Brain Rot?
Dilansir dari Forbes Senin (9/12/24) Brain Rot dapat diartikan sebagai seseorang yang sudah terlalu banyak mengkonsumsi informasi tidak berkualitas seperti meme dan sludge dengan tingkatan yang ekstrim.
Hal tersebut kemudian berdampak pada penurunan fungsi kognitif yang membawa pada perubahan perilaku kehidupan sosial. Hal tersebut biasanya ditandai dengan kesulitan memproses informasi dan ketidakmampuan berpikir kreatif.
Walaupun belum menjadi sebuah istilah medis resmi, tetapi konsep dari Brain Rot merupakan hal yang nyata dan menjadi sorotan dari tenaga Kesehatan. Kondisi ini juga dapat diamati pada orang-orang yang secara tidak sadar terjebak dalam pola pikir dan perilaku yang berulang dan tidak produktif.
Penyebab Brain Rot
Penyebab Brain Rot adalah kecanduan media yang berada pada tingkatan ekstrim dengan kondisi tidak sadar bahwa sudah melakukan scroll berjam-jam.
Penyebab utamanya adalah desain platform media sosial yang sangat adiktif. Dilansir dari Newport Institute Senin, (9/12/24) Berikut adalah beberapa faktor yang mendorong terjadinya kecanduan media sosial dan mengarah pada brain rot:
1. Interaksi Cepat Komunikasi : Media sosial dirancang untuk memberikan umpan balik yang cepat dan terus-menerus, seperti suka, komentar, dan notifikasi yang memberikan perasaan dihargai dan diterima.
Hal ini merangsang produksi dopamin, neurotransmitter yang terkait dengan rasa bahagia dan puas. Pengulangan dari umpan balik positif ini memicu otak untuk terus mencari "umpan balik yang baik" tersebut, menjadikannya adiktif.
2. Naluri Sosial : Manusia ingin terhubung dengan orang lain yang menarik bagi dirinya. Oleh karena itu, seseorang dapat melakukan scrolling dengan perasaan tertentu sehingga sulit untuk dikendalikan. Namun, ketergantungan berlebihan pada validasi eksternal ini bisa menyebabkan seseorang merasa terjebak dalam kehidupan maya dan mengabaikan hubungan nyata di dunia fisik.
3. Fomo : Perasaan khawatir karena tertinggal suatu hal yang dapat menyebabkan anda di kucilkan. Hal ini dapat menyebabkan seseorang merasa terus-menerus terikat pada media sosial, mengorbankan waktu dan perhatian untuk hal-hal yang lebih penting dan bermakna dalam kehidupan nyata.
Baca Juga : 7 Manfaat Minum Air Hangat di Pagi Hari |
---|
Contoh Perilaku Brain Rot
Dilansir dari Newport Institute Senin, (9/12/24) terdapat 4 contoh yang dapat dilihat dan terjadi sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari orang normal.
1. Kecanduan Game: Seseorang yang kecanduan dengan game akan bermain secara kompulsif dan mengembangkan gangguan permainan. Mereka menjadi begitu terpesona oleh dunia alternatif, karakter yang fantastis, dan alur cerita yang rumit dalam permainan video. Padahal dalam memecahkan masalah kehidupan orang yang mengidap Brain Rot akan mengalami kesulitan.
2. Zombie scrolling: Perilaku brain rot ini mengacu pada kebiasaan scrolling tanpa tujuan. Saat melakukan zombie scrolling , seseorang menatap kosong ke ponsel pintar saat berpindah dari satu feed ke feed lainnya.
3. Doomscrolling : Doomscrolling melibatkan pencarian informasi yang meresahkan dan berita negatif. Para pengguna Doomscrolling merasakan keinginan yang kuat untuk mengetahui informasi terkini, bahkan saat informasi tersebut mengganggu.
4. Kecanduan media sosial: Kecanduan media sosial ditandai dengan keinginan terus-menerus untuk mengecek media sosial dan perasaan gelisah saat mencoba menghentikan kebiasaan tersebut.
Pengguna tidak dapat berhenti mengecek platform seperti YouTube, Instagram, dan TikTok. Notifikasi terus-menerus, warna-warna cerah, dan suara yang merangsang benar-benar dapat membuat mereka terpesona, menyebabkan mereka berhenti berpikir jernih.