Pemahaman Dangkal dan Barang Palsu
Saat ini, Basuki berhasil membuat keris dengan pamor baru bernama Toya Madeg Bineah atau air yang berhenti karena di belah tengah. Keris buatnya ini dibuat dengan bahan bijih besi Bengawan Solo. Total pamor baru yang dibuatnya mencapai 100 jenis.
Meskipun berhasil membuat pamor baru di zaman modern ini, Basuki masih menyayangkan bahwa proses pengenalan keris kepada anak-anak muda masih terkendala tiga hal.
Pertama, munculnya pendangkalan pemahaman bahwa keris tidak sesuai dengan kondisi kekinian.
Kedua, keris sebagai asesoris dinilai tidak perlu dihadirkan untuk menunjang desain atau fesyen budaya populer.
Ketiga, pemahaman masyarakat yang sepotong-sepotong bahwa keris muncul sebagai budaya tinggi karena terkait dengan keraton. Padahal, keris juga akrab dengan kesenian tradisi.
Pemahaman yang dangkal tentang warisan budaya ini juga dirasakan kolektor muda Dony Satryo Wibowo. Di usianya yang baru 28 tahun, pria yang kesehariannya adalah pengajar di Institut Kesenian Jakarta, merasa pemahaman khalayak tentang keris selalu bersifat mistis.
Di sisi lain, masyarakat mengangap bahwa keris ketinggalan zaman, dan tidak penting untuk dilestarikan. “Perlu menyadarkan masyarakat untuk melihat keris dari sisi ilmu pengetahuan. Peran aktif ulama dan pamong diperlukan untuk meluruskan kesalahpahaman ini,” katanya.
Selain itu, Dony menyayangkan bahwa keraton yang berfungsi sebagai simbol kebudayaan, dan banyaknya empu keris yang meninggal dunia, membuat peredaran keris palsu sangat marak.
Keris-keris dengan pamor sesuai pakem banyak diproduksi secara massal dan diakui sebagai keris tua. Padahal, keris asli tapi palsu itu diproduksi pada zaman setelah proklamasi.
Berpijak pada keprihatinan tersebut, Dony mengaku mendirikan komunitas pencinta keris di Universitas Indonesia. Komunitas itu didirikan dengan tujuan sebagai sumber referensi pendidikan keris bagi masyarakat. “Paling penting adalah menjaga keris sebagai warisahn leluhur.
Upaya UNESCO untuk mengesahkan keris sebagai warisan budaya Indonesia, pada dasarnya bukan dari sisi fisik saja, tetapi lebih pada maknanya.
"Seberat-beratnya fisik sebuah keris pasti menyimpan makna yang lebih berat dan rumit lagi. Masyarakat dunia yang memuja hal ini, tentu kita sendiri juga harus bangga dan lebih peduli,” ujarnya.