Warsito mengatakan selama ini produsen lokal hanya mampu berkontribusi sebanyak 5% terhadap peredaran alat kesehatan. Sisanya didatangkan dari luar negeri. Sungguh pasar paling prospektif untuk penjualan alat kesehatan.
Menurutnya Indonesia hingga kini belum memiliki skema atau kebijakan dalam pengembangan industri hulu alat kesehatan buatan peneliti dalam negeri. Bahkan, terkesan pemerintah tidak memercayai produk buatan anak bangsa yang telah diakui dunia internasional.
Alih-alih mendapatkan izin edar, produksi massal, dan penggunaan teknologi ini oleh praktisi kesehatan Indonesia, sejumlah cara yang telah ditempuh justru menimbulkan beban biaya besar.
Warsito menuturkan, jika pemerintah ingin menilai produknya secara ketentuan internasional, di mana regulasi terkait alat kesehatan memperhatikan penggunaan listrik berkekuatan 50 volt, alat temuannya ini jauh lebih efisien dan aman karena hanya menggunakan baterai rumah tangga bertegangan rendah.
Dia mengatakan jika dilihat berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan yang berlaku tentang alat kesehatan, produk yang diciptakannya seharusnya dengan mudah mendapatkan izin edar.
Pasalnya, secara umum terdapat tiga kategori alat kesehatan, pertama alat yang yang tidak menimbulkan efek apapun dapat beredar tanpa uji klinis. Kedua alat menimbulkan risiko ringan, sehingga izin bisa didapatkan cukup dengan penjelasan, dan ketiga adalah alat yang memiliki risiko berat sehingga perlu uji klinis.
Dalam hal ini, lanjutnya, energi yang digunakan setara dengan sandal refleksi yang beredar bebas di Indonesia. Bahkan, teknologi ini lebih aman ketimbang terapi kesehatan menggunakan ceragem atau terapi infra merah yang kini merebak di Indonesia.