Bisnis.com, JAKARTA - Penelitian terbaru menunjukkan bahwa di dalam paru-paru, zat kimia ganja jauh dari jinak. Beberapa penelitian bahkan mengaitkan penggunaan ganja yang berlebihan dengan peningkatan risiko beberapa jenis kanker, termasuk kanker kepala dan leher.
Jadi, adakah hubungan yang jelas antara ganja dan kanker, dan jika ya, apa penyebabnya?
Setiap tarikan napas yang dihisap ganja merupakan campuran dari bahan pemicu mabuk tetrahidrokanabinol (THC), partikulat halus, dan karsinogen tertentu yang juga ditemukan dalam tembakau. Namun, kanabinoid dapat membawa perubahan tersendiri dengan secara diam-diam mengubah pengaturan kekebalan paru-paru.
Dilansir dari livescience, Raphael Cuomo, seorang ilmuwan yang bekerja di persimpangan antara pencegahan kanker dan kecanduan di University of California, San Diego mengatakan lapisan pelindung saluran napas melemah, sinyal antivirus melemah, dan peradangan kambuh.
Dalam sebuah studi pada tikus, asap ganja melemahkan pertahanan melawan tumor dan infeksi. Dalam studi lain, THC melemahkan efek imunoterapi, melemahkan sel-sel imun pembunuh tumor dalam tubuh.
Ganja juga memicu perubahan lain dalam sistem kekebalan tubuh, menurut studi pada manusia, sel, dan tikus laboratorium. Di saluran napas, kadar protein yang terkait dengan peradangan melonjak ketika ganja digunakan secara konsisten. Sebuah protein yang disebut MUC5AC, yang melapisi dan melindungi saluran pernapasan, diproduksi secara berlebihan di sel-sel tertentu, yang mengindikasikan perubahan jaringan dini. Asap ganja dapat mengganggu enzim yang memelihara jaringan dan menonaktifkan gen yang merespons racun.
Respons sel patroli paru-paru makrofag alveolar dapat terhambat. Dan dalam darah, pergeseran pada pembawa pesan seluler yang disebut sitokin dan perubahan samar dalam epigenetika menjadi catatan harian molekuler paparan.
Singkatnya, "asap ganja, dari produk sampingannya yang beracun hingga THC, dapat mengiritasi paru-paru dan melemahkan kekebalan tubuh," ujar Sayantan Bhattacharyya, seorang ahli biologi sistem kanker yang telah mempelajari dampak molekuler ganja, kepada Live Science.
Namun, gangguan kekebalan tubuh hanyalah salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko kanker. Asap ganja juga dapat mengaktifkan tuas yang lebih dalam di dalam sel — sakelar molekuler yang digunakan kanker untuk tumbuh dan menyebar.
Di antara semua itu, hanya sedikit yang seterkenal reseptor faktor pertumbuhan epidermal, atau EGFR. Dalam salah satu dari sedikit studi sejenisnya, Bhattacharyya memeriksa 83 pria dengan kanker glotis, yang memengaruhi kotak suara, dan menemukan bahwa perokok ganja dalam kelompok tersebut memiliki aktivasi EGFR dan protein kanker terkait yang jauh lebih tinggi dibandingkan perokok tembakau maupun bukan perokok.
"EGFR mengatur pertumbuhan, perbaikan, dan kelangsungan hidup [sel]," kata Bhattacharyya. Pada perokok ganja, aktivasi yang konstan dapat memicu proliferasi yang tak terkendali, mempercepat kerusakan genetik, dan mempercepat lompatan menuju kanker — memicu timbulnya kanker lebih dini, penyebaran yang lebih cepat, dan resistensi pengobatan. Meskipun demikian, studi Bhattacharyya hanya melibatkan 83 orang dengan satu jenis kanker, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui apakah hasilnya dapat diterapkan secara luas.
Bhattacharyya melihat dua prioritas untuk penelitian di masa mendatang. Pertama, mengembangkan model laboratorium yang realistis—seperti "organoid", tumor cetak 3D, dan chip organ—untuk mempelajari bagaimana ganja mengamplifikasi EGFR. Kedua, menyelidiki zat aditif yang berpotensi berbahaya yang mungkin terkandung dalam produk ganja yang tidak diregulasi, ujarnya.
Terlepas dari semua biologi yang meresahkan yang terungkap dalam studi laboratorium, studi dunia nyata terhadap perokok ganja menunjukkan kisah yang beragam. Beberapa penelitian mengaitkan penggunaan ganja berat dengan risiko kanker yang lebih tinggi, sementara yang lain tidak menemukan hubungan yang jelas. Namun, Cuomo berpendapat bahwa penggunaan ganja dalam jangka panjang dapat meningkatkan kemungkinan terkena kanker, berdasarkan pengetahuan yang kita miliki sejauh ini.
Namun, bagi orang yang sudah menderita kanker, Cuomo telah menunjukkan bahwa penggunaan ganja tidak terkait dengan kematian dini — sebuah teka-teki yang kini disebut para peneliti sebagai "paradoks Cuomo." Faktanya, penelitian telah menemukan bahwa, pada pasien kanker, ganja dapat meningkatkan nafsu makan dan mengurangi mual akibat kemoterapi, meskipun asapnya berpotensi menanam benih penyakit, baik secara kimiawi maupun seluler.
Tantangan ke depannya adalah menilai secara akurat manfaat dan bahaya ganja untuk membandingkannya.