Bisnis.com, JAKARTA - Penyakit kardiovaskular atau gangguan pada jantung adalah salah satu penyebab kematian terbesar di Indonesia.
Salah satu penyebabnya adalah tingginya kadar kolesterol "jahat" dalam darah atau dislipidemia, yang seringkali tidak diketahui atau bahkan diabaikan.
Dislipidemia merupakan salah satu penyebab penyakit jantung koroner. Ini adalah kondisi ketidakseimbangan kadar lemak dalam darah, seperti kolesterol dan trigliserida.
Kadar kolesterol LDL (low-density lipoprotein) yang tinggi dan kolesterol HDL (high-density lipoprotein) yang rendah dapat menyebabkan penumpukan lemak di dinding arteri.
LDL juga dikenal sebagai faktor penyebab utama penyakit kardiovaskular aterosklerotik, dan pengurangan LDL terbukti secara signifikan mengurangi kejadian kardiovaskular serta angka kematian terkait, terutama pada individu dengan risiko tinggi dan sangat tinggi.
Data WHO menunjukkan bahwa sekitar 2 dari 5 orang memiliki kadar kolesterol total melebihi batas normal. Inilah mengapa penyakit kardiovaskular akibat dislipidemia menjadi salah satu beban penyakit terbesar di dunia.
Selain memengaruhi kualitas kehidupan dan meningkatkan beban ekonomi, dislipidemia juga berdampak signifikan pada angka kesakitan dan kematian akibat penyakit kardiovaskular di mana hampir 50% kematian akibat serangan jantung dapat dikaitkan dengan kadar kolesterol LDL yang tinggi.
Di Indonesia, berdasarkan data Riskesdas 2018, prevalensi penyakit jantung di Indonesia adalah sekitar 1,5% pada seluruh kelompok usia. Data tersebut juga mengungkap bahwa jumlah penduduk Indonesia yang mengidap penyakit jantung meningkat seiring pertambahan usia, utamanya pada usia di atas 45 tahun.
Di sisi lain, pembiayaan penyakit ini pun melambung tinggi setiap tahunnya. Berdasarkan data BPJS Kesehatan pada 2022 mencatat penyakit jantung menjadi beban terbesar, yaitu lebih dari Rp12 triliun.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI) 2025, Dr. dr. Ade Median Ambari menegaskan bahwa pasien dengan dislipidemia yang tidak terkontrol memiliki risiko tinggi untuk mengalami serangan jantung.
"Jika sudah mengalami serangan jantung, pasien tersebut akan tergolong dalam kategori risiko sangat tinggi. Pada populasi pasien tersebut, perlu diberikan terapi penurun kolesterol dengan target LDL-C yang direkomendasikan sesuai pedoman yaitu
Upaya Pengobatan Dislipidemia yang Lebih Praktis
Berbagai upaya penanggulangan dislipidemia bisa dilakukan. Di antaranya, penggunaan terapi penurun lipid yang berfokus pada penurunan kadar kolesterol LDL atau “kolesterol jahat”.
Hal ini sesuai dengan penelitian global yang membuktikan bahwa penurunan kolesterol LDL dapat menurunkan risiko kejadian penyakit kardiovaskular.
Penurunan kadar LDL yang ditargetkan adalah kurang dari 55 mg/dL pada pasien dengan risiko tinggi penyakit kardiovaskular. Sayangnya, Studi DYSIS II mengungkapkan fakta yang mengkhawatirkan, bahwa hanya 31% pasien di Asia yang mencapai target LDL di bawah 70 mg/dL.
Ketua Perki dr. Vireza Pratama menambahkan, penanganan permasalahan kadar lipid, utamanya bagi pasien yang belum mencapai target LDL-nya dengan terapi statin.
"Hal ini bisa dilakukan salah satunya, melalui obat dislipidemia yang mengombinasikan zat aktif statin intensitas tinggi seperti rosuvastatin dengan zat aktif ezetimibe," ungkapnya.
Menurut data dari berbagai penelitian, kombinasi rosuvastatin dan ezetimibe dapat menurunkan kadar LDL hingga 65%. Hasil ini lebih baik dibandingkan monoterapi statin intensitas tinggi yang hanya dapat menurunkan sekitar 50%.
Terapi kombinasi dengan rosuvastatin dan ezetimibe, lanjut dr. Ade Meidian, bisa menurunkan kadar LDL yang lebih banyak daripada monoterapi statin saja sehingga proporsi pasien yang mencapai target LDL-C pun lebih besar.
“Patut diingat juga bahwa terapi kombinasi dengan rosuvastatin dan ezetimibe umumnya dapat ditoleransi dengan baik. Manfaat terapi kombinasi ini juga dapat membantu meningkatkan kepatuhan pasien dalam meminum obat karena lebih praktis,” papar dr. Ade.