Bisnis.com, JAKARTA - Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada tahun 2022, angka stunting mencapai 21,6 persen, artinya dimana satu dari lima anak Indonesia mengalami stunting.
Kementerian kesehatan menyebutkan kelompok usia paling tinggi mengalami kenaikan prevalensi stunting adalah sejak bayi usia 6 bulan hingga berusia 23 bulan.
“Pada bayi baru lahir prevalensinya 18,5%. Sementara pada bayi usia 6-11 bulan prevalensinya 13,7% dan bayi usia 12-23 bulan mencapai 22,4%. Artinya pada kelompok usia 6-11 bulan dan 12-23 bulan terjadi prevalensi stuntingnya meningkat hingga 1,6 kali,” papar Ketua Tim Kerja Standar Kecukupan Gizi Bapak Mahmud Fauzi, S.K.M., M.Kes.
Fauzi menyebutkan penyebab stunting sangatlah multifaktor, mulai dari ada tidaknya masalah gizi sejak remaja putri, asupan gizi yang tidak optimal saat ibu hamil, pemberian makan pada bayi yang tidak adekuat, ada tidaknya infeksi yang dialami anak, pola asuh hingga sosial ekonomi keluarga.
Namun jika dilihat dari prevalensi kelompok usia 6-23 bulan, salah satu faktor penyebab langsung terjadinya stunting menurut Fauzi adalah pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) yang kurang bergizi serta minim protein hewani.
“Hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan pemahaman ibu akan kesehatan dan gizi anak, ditambah faktor lingkungan setempat yang kurang mendukung,” tegas Fauzi.
Direktur Ketahanan Remaja BKKBN Edi Setiawan mengtakan seringkali orang menghubungkan stunting dengan kemiskinan, karena ini merujuk pada salah satu penyebab terjadinya sanitasi yang buruk dan air minum tidak layak.
“Tapi penelitian menunjukkan, justru yang paling menentukan adalah bagaimana pola asuh di keluarga, kata Direktur Ketahanan Remaja BKKBN Edi Setiawan.
Fauzi menegaskan, hal pertama yang harus dicermati adalah apakah anak sudah mengonsumsi aneka ragam makanan bergizi. Pada dasarnya masalah under nutrition seperti stunting sangat dipengaruhi karena kurangnya konsumsi makanan yang bergizi, terutama protein hewani dan adanya masalah infeksi yang dialami anak.
“Terkait makanan minuman yang tinggi gula, kita ketahui bahwa untuk anak
Dokter spesialis anak Lucia Nauli Simbolon menjelaskan protein hewani dalam makanan anak sebagai cara untuk mencegah terjadinya stunting.
“Orangtua ketika anak mulai MPASI selalu bertanya apakah makanan pertama tidak kuah dulu atau sayur dulu? Mereka menyakini makanan pertama anak adalah buah atau sayur daripada protein hewani,” kata dokter spesialis anak ini.
Padahal, sambung Lucia, anak membutuhkan nutrisi makro dan mikro. Makro dari karbohidrat, lemak dan protein. “Untuk karbohidrat, orang Indonesia suka nasi dan makanan yang manis. Padahal karbohidrat bisa juga diganti dengan ubi ungu atau kentang,“ katanya.
Untuk protein hewani bisa berasal dari ikan karena memiliki kadar DHA tinggi yang penting untuk otak. Tapi untuk pembentukan otot, Lucia menyebutkan daging merah dan ayam sebagai sumbernya. Sementara sumber lemak juga bukan hanya dari butter atau keju, tapi juga bisa santan.
Menurut Lucia penting bagi orangtua untuk mengoptimalkan asupan protein hewani pada makan anak, dimana 20 persen adalah protein hewani dan 30 persen lemak juga wajib berasal dari hewani. “Hitung porsi anak sekitar 20-25 gram protein hewani. Awal-awal ditimbang agar tahu misalnya berapa banyak ikan Lele yang harus diberikan untuk mendapatkan 25 gram protein hewani. Protein nabati itu bonus saja,“ sarannya.
WHO merekomendasikan pemberian ASI seharusnya dilanjutkan hingga usia 2 tahun. Pada bayi usia 6-11 bulan yang tidak mendapatkan ASI bisa diberikan susu formula atau susu hewani. Adapun untuk anak berusia 12-23 bulan yang diberikan susu selain ASI, susu yang diberikan sebaiknya merupakan susu hewani.
Kemenkes sendiri disebutkan Fauzi memiliki 11 intervensi spesifik untuk mencegah terjadinya stunting mulai dari masa kehamilan, sebelum lahir, dan setelah melahirkan.
“Intervensinya bahkan dimulai sejak masih remaja putri, yaitu dengan memberikan tablet tambah darah (TTD) untuk mencegah anemia.” Remaja putri dengan anemia tentunya akan berisiko mengalami anemi pada saat hamil bila tidak diobati. Inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya stunting dari masa kehamilan.
Intervensi dini juga dilakukan oleh BKKBN pada calon pengantin melalui program Elektronik Siap Nikah Siap Hamil (Elsimil), perangkat berbasis aplikasi dan website untuk menskrining status kesehatan calon pengantin.
Selain itu BKKBN juga memiliki Tim Pendamping Keluarga yang ada di semua desa. Tim ini terdiri dari bidan desa atau tenaga kesehatan, kader BKKBN dan kader PKK yang bertugas mengawal dan mendampingi keluarga yang punya anak stunting atau berisiko stunting.
Sementara program intervensi gizi yang dilakukan BKKBN adalah Dapur Sehat Atasi Stunting (Dasat). Konsepnya adalah menghidupkan sumber pangan bergizi yang ada di wilayah tersebut.
Ada juga program Bapak Asuh atau Bunda Asuh Anak Stunting (BAAS) yang unsur utamanya adalah kepala daerah atau semua komponen masyarakat.
Dengan program-program tersebut dan ditambah melibatkan semua kementerian, Edi optimis target menurunkan stunting hingga 14 persen akan tercapai. “Kuncinya adalah pelaksanaan dan sinergitas di akar rumput,” pungkasnya.