Bisnis.com, JAKARTA - Perbedaan pendapat dan argumen di tempat kerja pasti terjadi bahkan di kantor yang paling santai sekalipun. Walaupun para profesional HR merupakan penjaga gerbang (gatekeeper) dari sebuah perusahaan, mereka perlu memiliki kemampuan untuk juga memainkan peran sebagai mediator dan penjaga perdamaian (peacekeeper).
Dari berbagai kepribadian karyawan dan gaya kerja yang berbeda hingga politik kantor yang berbahaya, para profesional HR harus mampu menyelesaikan semua bentuk konflik di kantor secara damai.
Manajemen konflik adalah salah satu keterampilan terpenting yang harus dimiliki para profesional HR untuk menangani dan menyelesaikan konflik dan perselisihan dengan cara yang efisien, adil dan masuk akal namun tetap tidak memihak.
Dalam artikel ini, JobStreet.com berbagi 5 kiat dan strategi yang dapat digunakan oleh profesional HR untuk menyelesaikan konflik di tempat kerja.
1. Telinga yang mendengarkan
Ketika menyelesaikan masalah di tempat kerja, penting untuk memahami akar penyebab konflik. Hal ini dapat dilakukan dengan bertemu dengan kedua belah pihak secara terpisah dan menjaga kerahasiaan atau konfidensial serta berbicara kepada pihak yang dirugikan. Selain memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk melampiaskan rasa frustrasi mereka secara sehat, HRD juga mendapat informasi mendalam tentang akar penyebab masalah yang mendasarinya.
Dari situlah, rencana dan tindakan dapat dibuat untuk menyelesaikan masalah secara damai untuk kedua belah pihak. Kadang-kadang, konflik dapat dengan mudah diselesaikan dengan memberikan pihak yang dirugikan sebuah kesempatan untuk mendiskusikan masalahnya.
2. Menjaga pintu tetap terbuka
Pihak yang dirugikan bisa merasa sangat frustasi ketika mengangkat sebuah masalah kepada HRD hanya untuk diabaikan atau diminta pergi. HRD sering berurusan dengan banyak permintaan dalam satu waktu dan mungkin tergoda untuk mengabaikan keluhan karyawan karena menganggap itu hanya keluhan biasa. Dalam banyak situasi, para profesional HR dianggap "lepas" (disconnected) dari tenaga kerja yang seharusnya mereka wakili.
Hal ini sebaiknya tidak terjadi karena karyawan yang tidak bahagia dapat dengan mudah kehilangan motivasi yang dalam jangka panjang akan menjadi karyawan yang beracun (toxic employees) dan turnover karyawan menjadi lebih tinggi. Karyawan beracun tidak hanya sulit diatur, tetapi mereka juga mampu menabur ketidakharmonisan dalam perusahaan yang dapat menyebabkan masalah yang jauh lebih besar.
Oleh karena itu, para profesional HR harus mengadopsi kebijakan pintu terbuka (open door policy) ketika berhadapan dengan karyawan. Hal ini tidak hanya mengirim pesan positif kepada karyawan yang lain, tetapi juga menjaga agar HRD tetap mendengarkan apa yang terjadi di lapangan. Dengan demikian, HRD akan dapat dengan mudah mengidentifikasi karyawan yang bermasalah atau masalah lainnya terkait manajemen talent di dalam perusahaan.
3. Ketidakberpihakan
HRD biasanya merupakan tempat perlindungan terakhir bagi karyawan. Kita menyadari bahwa, tidak ada yang suka mengunjungi departemen HR. Dengan demikian, ketika menyelesaikan konflik di tempat kerja, para profesional HR harus benar-benar tidak bias dan obyektif setiap saat terlepas dari keadaan konflik.
Di negara-negara Asia, ada aturan tak tertulis di antara karyawan bahwa staf junior akan selalu diminta untuk menyerah ketika berurusan dengan staf yang lebih senior. Seringkali, ini dapat mengakibatkan bullying di tempat kerja di mana karyawan yang lebih senior menyalahgunakan wewenangnya untuk mengintimidasi atau merepotkan karyawan junior.
Daripada menyalahkan karyawan junior demi staf yang lebih senior, profesional HR harus bertemu dengan kedua belah pihak secara terpisah untuk lebih memahami masalah yang dihadapi. Jika karyawan senior bersalah, profesional HR harus menghadapinya secara langsung dan memberi tahu mereka bahwa diperlukan perubahan perilaku.
4. Fokus pada masalah bukan orangnya
Ketika berhadapan dengan masalah yang sangat menjengkelkan atau karyawan yang sulit, bahkan profesional HR yang paling berpengalaman pun akan kesulitan menjaga ketenangannya dan mungkin tergoda untuk bereaksi dengan cara yang negatif. Namun, menjaga emosi tetap stabil sangatlah penting ketika menyelesaikan konflik.
Para profesional HR harus selalu mengingat bahwa perilaku atau tindakan negatif tidak selalu merupakan hasil dari niat jelek atau jahat; perilaku seperti itu bisa jadi hasil dari rasa takut, kebingungan, kemarahan, kebiasaan, dll. Jadi, ketika bertemu dengan pihak yang terlibat, selalu ingat untuk tetap tenang dan berkepala dingin jika situasinya menjadi berat.
5. Mengetahui kapan harus menyerah
Ada saatnya ketika bahkan upaya manajer HR yang paling terampil atau berpengalaman pun menemui jalan buntu. Profesional HR mungkin berurusan dengan individu yang memiliki masalah psikologis yang memerlukan bantuan professional, atau berhadapan dengan individu yang tidak memiliki keinginan untuk menyelesaikan konflik.
Hal ini juga berlaku ketika telah terjadi kekerasan fisik atau bahkan mulai terlihat indikasinya. Dalam situasi seperti itu, tidak peduli keterampilan, kemampuan, maupun posisinya, karyawan tersebut harus segera diberhentikan untuk memastikan keselamatan semua pihak yang terlibat.
Meskipun tidak ada yang suka berurusan dengan konflik, 5 kiat ini dapat membantu Anda meningkatkan kemampuan manajemen konflik di tempat kerja.