Ide bunuh diri bersama putrinya Hana Nabila muncul di kepala Yana setelah kejadian-kejadian buruk dalam hidupnya, pengalaman traumatik tak terobati yang menyebabkan depresi yang tak tertangani.
Semua itu berawal ketika anak pertama Yana meninggal di dalam kandungan pada usia kehamilan enam bulan. Setelah operasi untuk mengambil bayinya yang sudah tiada bernyawa, kondisi fisik dan psikis Yana berubah drastis.
Dia lebih banyak termenung, tidak mau bicara. Kadang telinganya mendengar sayup-sayup tangisan bayi. Ia sering menggendong bantal guling karena teramat rindu pada bayinya yang meninggal. Keadaan tidak bertambah baik ketika Yana kembali mengandung lima bulan kemudian.
Gangguan mental emosional Yana yang belum pulih membuat keadaan tambah buruk. Dia mengalami trauma lahir. Berkeringat dingin, sesak nafas dan jantung berdegup cepat saat kontrol kehamilan di rumah sakit.
Dia lebih banyak diam, tidak menikmati kehamilan karena bayang rasa takut akan kehilangan. Sampai bayinya lahir dengan operasi caesar, dia belum pulih juga dari trauma.
Air susu Yana tidak keluar. Hana Nabila yang akhirnya diberi susu formula harus menjalani perawatan karena alergi. Dan itu membuat Yana merasa makin bersalah. Ia menangis, bahkan lebih sering dari pada bayinya.
Sanak saudara yang menjenguk kelahiran putri kecilnya tidak membuat keadaan lebih baik. Keluarga malah menduga Yana kemasukan jin!
Yana menuturkan bahwa sang suami kemudian mengajak dia ke komunitas Peduli Trauma, tempat para penyintas trauma bergabung untuk saling menguatkan.
Ia sering datang ke kegiatan komunitas Peduli Trauma sembari menjalani terapi dengan psikiater hingga akhirnya benar-benar pulih dari trauma dan bisa tertawa karena hal-hal kecil lagi. Dia membentuk komunitas Mothercare Indonesia yang mengayomi para ibu yang mengalami depresi setelah melahirkan.