Bisnis.com, JAKARTA - Orang tua pada zaman dahulu percaya bahwa ‘semakin banyak anak, semakin makmur’. Namun, pada era modern, banyak orang tua yang lebih memilih memiliki sedikit anak. Lantas, apakah ada kaitannya antara menjadi orang tua dan tingkat kebahagiaan?
Sebuah laporan yang dilansir PBB baru-baru ini membuktikan tak sedikit orang tidak bahagia berasal dari negara maju. Laporan World Happiness Report 2016 itu memaparkan banyak warga negara makmur yang bermasalah dengan fase ‘menjadi orang tua’.
Berdasarkan paparan Bab IV hasil studi yang diterima Bisnis tersebut, tercantum data statistik bahwa negara-negara dengan produk domestik bruto (PDB) tinggi memiliki problem parenting yang sama akutnya dengan negara-negara yang memiliki angka pengangguran tinggi.
Kita mungkin lebih dapat memaklumi analisis bahwa orang tua yang menganggur atau berada di bawah garis kemiskinan berpengaruh buruk terhadap pola pengasuhan. Namun, bagaimana bisa tingkat kemakmuran yang tinggi berkorelasi dengan pola pengasuhan yang buruk?
Kepala studi tersebut, Luca Stanca, menjelaskan hubungan antara kemakmuran dan tingkat kebahagiaan keluarga masih perlu dikaji lebih lanjut. Akan tetapi, terkadang untuk menjadi orang tua, ada banyak hal yang harus dikorbankan.
“Di negara-negara kaya, memiliki anak berarti ada banyak hal dan pekerjaan yang harus dilakukan untuk menuruti tuntutan sosial, dan mengorbankan banyak peluang lain [seperti berkarir]. Jadi, semacam fomo membesarkan anak,” jelasnya.
Sekadar catatan, fomo adalah singkatan dari fear of missing something. Ini adalah kondisi di mana seseorang merasa ketakutan atau cemas akan kehilangan kesempatan baik jika tidak ikut-ikutan tren atau fenomena yang sedang marak.
USIA PRODUKTIF
Kondisi tersebut lebih banyak dirasakan oleh para perempuan di negara maju. Mereka didesak untuk membesarkan anak pada rentang usia produktif. Desakan sosial itu akan memudar dengan sendirinya ketika mereka beranjak tua.
Studi tersebut sekaligus mencoba menghubungkan pengasuhan dengan kemakmuran, serta bagaimana menjadi orang tua berpengaruh terhadap kebahagiaan sebuah kelompok masyarakat.
Ternyata, data mengindikasikan hubungan antara menjadi orang tua dan tingkat kepuasan hidup cenderung negatif di banyak negara, khususnya di kalangan perempuan muda pada usia produktif.
PBB menemukan setidaknya 65% negara menunjukkan adanya relasi negatif antara parenthood dan tingkat kebahagiaan hidup. Ini mengindikasikan bahwa di satu sisi, memiliki anak saat ini bukan lagi dianggap sebagai sesuatu yang ‘berharga’.
Padahal, zaman dahulu ada pepatah ‘semakin banyak anak, semakin banyak rezeki’. Saat ini, memiliki anak justru dinilai menyita waktu dan peluang, khususnya di negara-negara dengan PDB tinggi.
Di sisi lain, iklim bursa tenaga kerja yang semakin memburuk juga turut berperan terhadap kondisi keuangan keluarga yang berujung pada tekanan dalam membesarkan anak. Dengan kata lain, anak justru dianggap sebagai beban ekonomi.
Secara keseluruhan, hanya 36 dari 105 negara yang dikaji oleh World Happiness Report yang menyatakan bahwa menjadi orang tua mendatangkan manfaat kebahagiaan. Kabar baiknya, Indonesia masih termasuk salah satu dari 36 negara tersebut.
Indonesia menempati posisi ke-27 dalam indeks tersebut. Itu merefleksikan di negara ini memiliki anak masih dinilai sebagai sumber kebahagiaan dan belum berkorelasi negatif terhadap tingkat kemakmuran.
Namun, ada baiknya kita semua perlu mewaspadai potensi pergeseran fenomena sosial seiring dengan semakin bertumbuhnya kelas menengah ke atas di Indonesia. Apalagi, gejala-gejala sosial tersebut mulai terasa di kota besar, seperti DKI Jakarta.