Hambatan tidak hanya berhenti di situ, beredar kabar sejumlah praktisi kesehatan pernah melayangkan surat ke pemerintah untuk menutup aktivitas riset, dan pengobatan laboratorium miliknya.
“Yang jelas jika teknologi ini dapat terus dikembangkan, maka akan mengubah kebiasaan dunia kesehatan dalam menyembuhkan penyakit kanker,” tutur Warsito.
Tanpa pernah mendapat kepastian dari pemerintah, teknologi buatannya dengan cepat digunakan di Jepang. Secara regular Jepang memesan teknologi inti buatannya untuk kemudian dikemas dan dipasarkan ke negara lain.
Padahal, lanjutnya, Jepang telah memiliki teknologi kesehatan untuk menyembuhkan kanker dengan nilai mencapai Rp500 miliar. Namun, berdasarkan uji coba yang dilakukan, teknologi buatannya dinilai lebih efektif, dan cepat dalam penyembuhan.
Kini, teknologi buatannya di Jepang dihargai Rp200 juta, padahal di dalam negeri pasien cukup menebusnya dengan harga sekitar Rp10 juta.
Namun, karena belum memiliki kepastian izin edar, pasien kanker justru banyak yang berobat ke Jepang.