Pakar Linguistik dan Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya (FIB UB), Devinta Puspita Ratri. Istimewa
Health

Ancaman Brain Rot pada Anak dan Remaja, Begini Solusinya

Choirul Anam
Selasa, 24 Juni 2025 - 03:45
Bagikan

Bisnis.com, MALANG—Fenomena ‘brain rot’ penurunan kemampuan berpikir dan konsentrasi akibat paparan konten video singkat yang berulang di media sosial yang kini marak di kalangan anak dan remaja perlu menjadi perhatian serius para pendidik dengan memperkenalkan digital hygiene pada mereka.

Pakar Linguistik dan Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya (FIB UB), Devinta Puspita Ratri, menjelaskan brain rot bukanlah kerusakan otak secara fisik, tetapi kondisi mental akibat teknologi yang menuntut respons cepat dan instan.

“Konten-konten pendek membuat otak terbiasa bekerja dalam waktu singkat. Anak-anak menjadi tidak sabaran, sulit fokus, dan kehilangan minat untuk membaca,” jelasnya, Senin (23/6/2025).

Menurutnya, fenomena ini juga memengaruhi pola pikir anak-anak yang mulai mengidolakan konten viral tanpa mempertimbangkan nilai edukatif. “Banyak dari mereka hanya mengejar popularitas di media sosial tanpa memperhatikan kualitas kontennya. Ini menumbuhkan budaya instan dan dangkal,” ujarnya.

Dia juga menyoroti peran teknologi, termasuk kecerdasan buatan (AI), yang semakin membuat anak-anak bergantung dan enggan berpikir mandiri. “Sekarang banyak yang hanya mengandalkan AI tanpa mau memahami, padahal berpikir kritis itu tetap harus dilatih,” tambahnya.

Dampak jangka panjang dari brain rot, lanjut Devinta, bisa merusak aspek kognitif, sosial, dan emosional anak. Anak-anak menjadi malas berpikir logis, mudah terdistraksi, mengalami penurunan daya konsentrasi, bahkan kehilangan motivasi untuk mencapai tujuan melalui proses panjang.

“Beberapa komentar anak di media sosial menunjukkan rendahnya pemahaman dasar. Bahkan ada yang menyebut Garut sebagai negara di Eropa. Ini sangat mengkhawatirkan,” katanya.

Untuk itu, dia menekankan pentingnya keterlibatan aktif orang tua dan sekolah. Orang tua harus mendampingi anak saat menggunakan gawai, membatasi waktu layar, serta menyediakan kegiatan alternatif non-digital seperti bermain fisik atau membaca buku.

“Anak-anak harus dikenalkan pada digital hygiene, yaitu kemampuan memilah konten yang bermanfaat,” jelasnya.

Sekolah pun didorong untuk mengajarkan cara berpikir logis dan kritis, bukan sekadar menyampaikan materi. Sementara itu, pemerintah melalui Kominfo juga diminta lebih tegas dalam menyaring konten yang tidak mendidik.

“Konten-konten receh dan sensasional masih banyak berseliweran. Ini tugas bersama, bukan hanya pemerintah, tapi juga masyarakat,” tegasnya.

Dia berharap seluruh elemen, mulai dari keluarga, sekolah, pemerintah, hingga masyarakat digital, dapat bersinergi untuk melindungi generasi muda dari dampak negatif digitalisasi.

“Fenomena brain rot ini hanya bisa dicegah dengan kerja kolektif. Semua harus ambil peran,” ucapnya. (

Penulis : Choirul Anam
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro