Bisnis.com, JAKARTA - Bagi pasien gagal ginjal, transplantasi ginjal merupakan salah satu prosedur penyelamatan jiwa, sehingga hal ini merupakan harapan hidup bagi mereka.
Namun demikian, tantangan sebenarnya adalah bagaimana mempertahankan kesehatan ginjal baru pasca operasi dilakukan. Hal ini tidak terlepas dari ketersediaan obat imunosupresan (Takrolimus) yang stabil dan berkelanjutan.
Takrolimus mempunyai indikasi untuk pencegahan rejeksi/penolakan organ setelah transplantasi hati atau ginjal. Selain itu, indikasi Takrolimus juga untuk pengobatan rejeksi/penolakan organ hati atau ginjal pada pasien yang sudah mendapatkan obat-obat imunosupresan lainnya.
Baca Juga 6 Gejala Ringan Pertanda Gangguan Ginjal |
---|
Sayangnya, beberapa bulan belakangan, perubahan merek takrolimus yang sering terjadi di RS menyebabkan variabilitas kadar obat darah pasien meningkatkan risiko penolakan akut serta memperburuk fungsi ginjal yang ditransplantasikan.
Penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Arreola-Guerra menunjukkan perubahan obat merek takrolimus berkorelasi dengan peningkatan kejadian penolakan akut pada penerima transplantasi ginjal.
Studi ini menemukan bahwa pasien yang mengalami lebih banyak pergantian merek takrolimus memiliki kadar obat yang lebih sering berada di bawah batas terapeutik, yang secara langsung meningkatkan risiko kehilangan graft ginjal.
“Temuan ini memperlihatkan bahwa strategi efisiensi anggaran yang mengarah pada penggantian obat non-originator tanpa kontrol ketat dapat berujung pada konsekuensi medis yang serius bagi pasien transplantasi,” ujar Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir.
Lebih lanjut Tony menegaskan berdasarkan penelitian oleh Schwartz pasien yang mengalami pergantian formulasi takrolimus mengalami variabilitas kadar obat yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang tetap menggunakan satu formulasi yang
sama. Hal ini berimplikasi pada perlunya pemantauan kadar obat yang lebih sering yang pada akhirnya dapat meningkatkan biaya layanan pemeriksaan laboratorium dan intervensi medis tambahan.
“Dengan adanya keterbatasan pemeriksaan laboratorium yang kerap terjadi di fasilitas kesehatan, hal ini dapat memperburuk hasil klinis pasien transplantasi ginjal,” ujarnya.
Tantangan lain yang dihadapi dalam efisiensi anggaran kesehatan adalah seringnya terjadi kekosongan stok obat imunosupresan di rumah sakit. Kekosongan ini dapat mengakibatkan pasien mengalami jeda dalam pengobatan dan berisiko menyebabkan reaksi imun terhadap ginjal yang ditransplantasikan.
Studi klinis menunjukkan penurunan sementara kadar obat tacrolimus dapat memicu reaksi penolakan akut yang jika tidak ditangani dengan cepat dapat berujung pada kegagalan transplantasi.
Jika hal itu terjadi maka membutuhkan tindakan dialisis dan justru menambah beban biaya kesehatan secara keseluruhan.
Karena itu, KPCDI memandang perlu adanya peninjauan kebijakan efisiensi anggaran pada sektor Kesehatan dengan lebih cermat.
“Tanpa strategi yang komprehensif, pemotongan anggaran justru dapat berujung pada peningkatan beban kesehatan nasional akibat meningkatnya jumlah pasien dengan komplikasi medis yang lebih serius,” pungkasnya.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes), telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor HK.02.02/A/548/2025 yang menetapkan strategi pengendalian belanja, dengan pemotongan anggaran kesehatan sebesar Rp19,6
triliun. Langkah ini menimbulkan kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap pasien gagal ginjal kronik khususnya pasien pasca transplantasi ginjal.
Dalam mewujudkan harapan tersebut, Pemerintah Indonesia menjamin prosedur pencegahan, pemeriksaan, hingga pengobatan bagi 1,5 juta pasien gagal ginjal melalui program Jaminan Kesehatan Nasional.