Bisnis.com, JAKARTA - Kasus anemia pada ibu hamil di Indonesia masih begitu besar dan masih banyak disepelekan. Padahal, dampaknya akan begitu besar, tak hanya pada ibunya, tapi juga anak dalam kandungannya.
Berdasarkan data Riskesdas 2018 kasus anemia pada ibu hamil mencapai 48,9%. Selain itu, 1 dari 3 anak di Indonesia juga mengalami anemia.
Dokter kandungan ahli fetomaternal, Dr. dr. Rima Irwinda, mengatakan, anemia pada saat kehamilan selain bisa berdampak pada kesehatan ibu, juga bisa menyebabkan anemia pada anak yang dilahirkan.
"Di mana anak tersebut bisa menjadi remaja yang juga menjadikan anemia. Lalu kemudian dewasa, dan apabila dia perempuan maka berikutnya akan menjadi seorang ibu, akan menurunkan anemia juga ke anaknya," jelasnya dalam Media Gathering di Jakarta, Selasa (26/11/2024).
Dampak Anemia pada Ibu Hamil
Dr. Rima menjelaskan, apabila terjadi anemia pada kehamilan, maka risikonya pada ibu bisa terjadi pada sebelum dan sesudah kehamilan.
Di antaranya, risiko pertumbuhan janisn terhambat, berat badan lahir rendah, kelahira prematur, preeklamsia, perdarahan pasca-melahirkan, dan infeksi perinatal.
Dia mengungkapkan, anemia juga merupakan salah satu penyebab kemungkinan terjadinya kelahiran prematur, di mana kelahiran prematur mencapai sekitar 30% di Indonesia, dan ini membuat Indonesia menduduki 5 terbesar untuk kelahiran prematur yang dilaporkan oleh WHO.
"Jadi kalau misalnya kita bisa mengurangi anemia pada ibu hamil, secara tidak langsung kita bisa menurunkan kelahiran preterm yang merupakan salah satu penyebab terbanyak kematian bayi dalam kandungan, dan juga kita bisa mengurangi preeklamsi dan perdarahan yang merupakan penyebab terbanyak untuk kematian ibu," jelasnya.
Penyebab Anemia pada Ibu Hamil
Dr. Rima mengungkapkan penyebab anemia pada ibu hamil bisa karena terjadi peningkatan atau ekspansi sel darah merah, atau karena asupan zat besi yang tidak adekuat.
Asupan zat besi yang tidak adekuat menjadi alasan penyebab anemia terbesar di Indonesia, karena banyaknya sumber makanan mengandung zat besi non-heme, yang penyerapannya lebih rendah dibandingkan dengan yang heme, zat besi yang terkandung dalam makanan.
Secara fisiologis ibu hamil membutuhkan 1.000 miligram zat besi per hari. Apabila tidak tercukupi, ibu bisa mengalami penurunan Hemoglobin (Hb) pada saat pemeriksaan, atau Hb normal namun cadangan besi dalam tubuh ibu rendah.
"Ini yang sering diabaikan, ibu sering merasa sudah makan daging banyak, atau sudah merasa makan yang cukup, tapi ternyata tetap anemia. Oleh karena itu, tetap penting mengonsumsi suplementasi zat besi, vitamin, mineral, dan memenuhi asupan mikronutrien selama kehamilan," tegasnya.
Adapun, menurut Dr. Rima, suplementasi zat besi harus diberikan bahkan dari trimester pertama kehamilan. Selain itu, ibu hamil juga harus sudah memenuhi kebutuhan mikro dan makronutrien agar ibu dan janin tetap sehat.
"Ini kasus yang masih banyak disepelekan, berdasarkan data, konsumsi tablet tambah darah yang minum full hanya 38%, sisanya tidak habis, karena baunya tidak enak atau karena merasa tensinya normal. Padahal tensi normal dan anemia adalah dua hal yang tidak ada hubungannya," ujarnya.
Dr. Rima juga mengimbau kepada para bidan untuk memberitahukan fungsi dari tablet tambah darah tersebut, agar ibu hamil tetap rajin mengonsumsinya.
"Jadi bisa katakan kalau kekurangan zat besi bisa menyebabkan anemia, bisa berisiko lahir prematur dengan segala konsekuensinya, dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan otak janin," imbuhnya.
Pasalnya, terhambatnya perkembangan otak janin akan baru akan terlihat dampaknya ketika anak sudah besar. Hal itu selain bisa menyebabkan stunting, juga bisa menyebabkan IQ anak rendah sehingga sulit beradaptasi, autisme, atau hiperaktif.