Joko Anwar bersama pemain di lokasi syuting Pengabdi Setan 2: Communion/Dok.Come and See Pictures.
Entertainment

Joko Anwar Blak-blakan 90 Persen Film Indonesia Tidak Balik Modal

Farid Firdaus
Rabu, 6 September 2023 - 23:15
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA – Sutradara film Joko Anwar mengungkapkan bahwa sekitar 90 persen film Indonesia tidak mengalami balik modal atau break even point. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana sebenarnya bisnis film Indonesia saat ini bekerja?

Untuk menjawab hal tersebut, Joko terlebih dahulu menjelaskan beberapa kategori film dilihat dari anggaran produksi. Pertama, bujet mikro yakni film dengan anggaran di bawah Rp3 miliar. Kedua, bujet rendah atau film beranggaran Rp3-Rp6 miliar. Ketiga, bujet menengah atau film beranggaran Rp6-10 miliar. Keempat, bujet tinggi atau film yang menyerap dana Rp10-Rp20 miliar.

Kelima, ada kategori bujet ‘tinggi banget’ yakni film dengan anggaran Rp20-Rp30 miliar. Keenam, bujet ‘sultan’ atau jenis film yang bisa menghabiskan anggaran di atas Rp30 miliar.

Joko menerangkan setiap film masih membutuhkan biaya promosi yang besarnya Rp1 miliar untuk rata-rata film bujet menengah, Rp2 miliar untuk film bujet tinggi, dan sekitar Rp5 miliar untuk film bujet tinggi ke atas.

Dari sisi pemasukan, pendapatan kotor untuk satu film Indonesia, rata-rata saat ini adalah 1 tiket bioskop dikalikan Rp40 ribu. Nantinya, pendapatan tayang bioskop yang diterima bersih oleh perusahaan film sudah dipotong pajak dan dibagi 50-50 persen dengan pengelola bioskop. Artinya, pendapatan yang diterima masing-masing setara 1 tiket dikalikan Rp18 ribu.

“Jadi kalau sebuah film dengan bujet produksi Rp18 miliar ditambah Rp2 miliar bujet promosi, maka film itu butuh 1.111.111 tiket bioskop untuk balik modal,” kata Joko, melalui thread di Twitter (X), dikutip Rabu (6/9/2023).

Saat ini, lanjut Joko, selain dari bioskop, pemasukan uang ke perusahaan film juga bisa berasal dari film yang tayang di platform streaming.

Menurutnya, film Indonesia dapat tayang di platform streaming lewat empat cara. Pertama adalah karya original atau film yang diproduksi dengan uang dari penyelengara over-the-top (OTT).

Alur produksi karya original biasanya dimulai dari mengajukan proyek, kemudian setelah mengantongi ‘green light’ masuk ke tahap development atau pembuatan skenario. Dari situ, jika diterima, maka masuk tahap produksi. Uang yang masuk ke perusahaan film melalui cara ini disebut sebagai production house fee, yang besarnya 10 persen dari bujet produksi.

Kemudian, cara kedua untuk film Indonesia masuk ke platform streaming adalah second window release yang artinya sebuah film tayang di OTT setelah film tersebut rilis di bioskop. Jarak penayangan biasanya setelah 120 hari. Pihak OTT tertentu bakal memiliki hak ekslusif menayangkan film tersebut di platform mereka untuk jangka waktu tertentu. Nilai pendapatan dari jalur ini di bawah pendapatan kategori original.

Selanjutnya, cara ketiga lewat jalan dibeli OTT setelah film selesai diproduksi namun belum tayang di bioskop.

"Biasanya perusahaan film bikin film untuk bioskop, tetapi mereka ganti rencana dengan dijual langsung ke OTT. Nilai pemasukan juga beragam. Bisa untung, bisa rugi,” jelasnya.

Tak ketinggalan, cara keempat adalah dibeli OTT setelah tayang di OTT lain. Joko mengaku nilai penjualan melalui strategi ini terbilang kecil. Terakhir, ada jalur agregator film. Startegi ini memungkinkan film-film lama atau bujet kecil dijual ke distributor agregator film dan mereka akan jual ke banyak OTT non-ekslusif. Nilai pendapatannya terhitung kecil sekali.

Joko menyimpulkan film yang rilis di bioskop berpotensi membuat pemasukan perusahaan film tak terbatas. Sebab, selama penonton yang membeli tiket banyak, film tersebut akan dipertahankan oleh pengelola bioskop. Alhasil, pendapatan akan terus mengalir.

Sementara itu, untuk film yang dirilis di platform OTT, semisal pada kategori karya original, biasanya melalui skema beli-putus atau nilai uang yang masuk ke perusahaan film sudah fixed.

Adapun untuk beberapa film yang tayang di OTT sebagai second window release, OTT akan memberikan nilai beli hak tayang dalam beberapa jenjang. Artinya, perusahaan OTT akan bayar lebih setiap film tersebut ditonton lebih banyak orang di bioskop.

Perlu dicatat bahwa pada karya original, hak milik film akan menjadi milik OTT. Sedangkan pada kategori second window release dan seterusnya, hal kepemilikan film masih berada di tangan perusahaan film. 

Selain melalui penayangan bioskop dan OTT dalam negeri, perusahaan film juga dapat mengantongi pundi-pundi lewat penayangan bioskop di luar negeri secara komersil, penayangan OTT luar negeri, perilisan di Home Video dalam blu-ray atau DVD luar negeri, serta penayangan di festival film dan acara-acara lain.

Lebih lanjut, pendapatan produser film Indonesia bisa berasal dari film yang tayang di televisi, atau pemasukan lain seperti hak tayang film di pesawat udara dala in-flight entertainment.

Sumber Pendanaan Film

Pendanaan sebuah film dapat dicari melalui sumber di dalam negeri, ataupun luar negeri.

Untuk di dalam negeri, kata Joko, secara umum operasional sebuah perusahaan film dijalankan dengan uang pribadi, atau uang dari beberapa investor baik individu, institusi, maupuan venture capital (VS). Adapun VC yang berinvestasi di sebuah proyek film disebut dengan film fund.

Perusahaan film juga dapat menjaring dana melalui penjualan saham ke publik. Hingga saat ini, baru ada dua perusahaan film yang sudah go public yakni PT MD Pictures Tbk. (FILM) dan PT Tripar Multivision Plus Tbk. (RAAM).

Sementara itu, untuk sumber pendanaan luar negeri cenderung lebih mulus bagi produser yang memiliki rekam jejak sebagai produser dengan film-film menguntungkan.

“Jika tidak punya track record tersebut, produser bisa bekerja sama dengan sutradara yang memiliki filmografi yang dikenal menguntungkan,” terang Joko.

Adapun bagi jenis film yang diprediksi memiliki penonton segmented termasuk jenis film arthouse, perusahaan film dimungkinkan mencari dana melalui film market di beberapa festival film.

Mengapa produksi film mahal?

Joko mengungkapkan biaya produksi film yang mahal berelasi dengan segala hal yang dituliskan di dalam skenario. Misalnya, dalam satu adegan film saja, banyak elemen biaya yang mesti dikeluarkan, mulai dari sewa lokasi, properti, kostum, pemeran figuran, biaya para pemain, biaya kru, hingga katering, dan lain-lain. Hal ini yang menjadi salah satu alasan mengapa jenis-jenis film tertentu seperti film laga ataupun kolosal belum diproduksi dalam jumlah yang masif.

Joko pun membandingkan bujet film Indonesia yang bisa dibilang hanya setengahnya dari bujet film Thailand. Ini pun berkaitan erat dengan harga tiket bioskop Thailand yang lebih mahal yakni antara Rp83 ribu hingga Rp112 ribu untuk bioskop biasa, dan Rp130 ribu hingga Rp432 ribu untuk bioskop premium dan first class.

Di bagian lain, bujet film Indonesia tentunya juga terlampau jauh dengan bujet film-film Hollywood yang rata-rata bisa menembus Rp765 miliar hingga Rp1,5 triliun.

“Mengapa Hollywood, Korea, dan India berani film dengan bujet gede? Karena pasar luas. Bukan cuma dalam negeri. Karena mereka berhasil membawa kultur ke mereka ke dunia. Sementara kita, usaha-usaha untuk membuat negara lain familiar dengan kultur kita masih sangat rendah,” tutur Joko.

Meskipun demikian, menurut Joko, pelaku industri film Indonesia memiliki resiliensi dan kecintaan terhadap industri ini. Dua faktor tersebut dapat menjawab mengapa masih ada produser yang terus membuat film, sekalipun terdapat fakta bahwa sekitar 90 persen film Indonesia tidak balik modal.

Penulis : Farid Firdaus
Editor : Farid Firdaus
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro