Sampel asli dari virus corona baru dai Wuhan, China adalah variasi yang sekarang disebut para ilmuwan sebagai clade “D”. Sebelum 1 Maret, lebih dari 90 persen sampel virus yang diambil dari pasien merupakan variasi ini.
Selama bulan Maret, variasi “G” mulai mendominasi. Mutasi ini disebabkan oleh swapping nukleotida adenin (A) ke nukleotida guanin (G) pada titik tertentu dalam genom virus. Itu selalu muncul di samping tiga mutasi lain yang sama dalam satu blok bangunan RNA dengan yang lainnya.
Varian “G” mewakili 67 persen dari sampel global yang diambil pada bulan Maret dan 78 persen dari sampel yang diambil antara 1 April hingga 18 Mei. Selama wakti ini, episentrum wabah bergeser dari China ke Eropa dan Amerika Serikat.
Bette Korber, ahli biologi komputasi dari Los Alamos National Laboratory mengatakan bahwa mutasi ini menarik minat peneliti lantaran telah mengambil alih bahkan di daerah yang awalnya mayoritas didominasi oleh varian virus “D”.
Dia dan rekannya di Duke University dan La Jolla Institute of Immunology memasukkan mutasi G dan D ke pseudovirus, virus yang direkayasa untuk menampilkan protein permukaan dari virus lainnya. Pseudovirus bermanfaat karena mereka tidak dapat menyebarkan penyakit sehingga dapat digunakan untuk melacak pergerakan mereka ke dalam sel.
Para peneliti kemudian mengekspos kultur sel psudovirus dengan varian “G” atau “D” dari protein spike virus corona untuk melacak yang lebih infeksius. Mereka menemukan bahwa varian “G” menyebabkan jumlah virus yang jauh lebih tinggi dalam kultur sel.
Viral load yang ditemukan pada virus varian “G” dari protein spike berkisar antara 2,6 hingga 9,3 kali lebih besar daripada variasi virus “D”. Pseudovirus dan sel yang digunakan dalam percobaan itu bukan virus corona atau sel paru-paru manusia, tetapi menggunakan virion SARS-CoV-2 yang mirip virus aslinya.
Studi tersebut diterbitkan pada 7 Juli di server pracetak BioRxiv, dipelopori oleh Neville Sanjana yang merupakan ahli biologi dari New York University. Dia dan rekannya menguji versi “G” dan “D” dalam kultur sel dan menemukan bahwa varian “G” menginfeksi 8 kali lebih banyak.
Akan tetapi, hanya karena virus itu lebih cepat menginfeksi sel dalam kultur lab bukan berarti itu akan lebih mudah menular di dunia nyata, “Jika hanya perlu beberapa jam lagi untuk varian lain melakukan hal yang sama persis, maka hasilnya pada dasarnya sama,” kata Grubaugh.