Bisnis.com, NTB - Pada 1985, beberapa wisatawan dari Jerman dan Swiss mulai masuk Gili Trawangan.
Mereka tertarik akan taman bawah lautnya yang indah dan hal itu kemudian mereka promosikan.
Waktu itu mereka menginap di rumah-rumah penduduk, karena warga belum ada yang bisa berbahasa Inggris maka komunikasi menggunakan bahasa isyarat.
"Mereka tinggal di rumah penduduk dengan fasilitas seadanya, kadang mereka juga buang kotoran di pinggir pantai karena kita waktu itu belum ada apa-apa, jangankan listrik, lampu yang sedikit moderen pun belum ada, waktu itu kami masih menggunakan lampu dari minyak jarak, tetapi justru para turis senang," kata Muhammad Taufik.
Seiring terus meningkatnya kunjungan wisatawan, masyarakat mulai berpikir bahwa turis ini harus diberikan fasilitas.
Akhirnya, masyarakat membuat usaha jenis bungalow dengan fasilitas seadanya.
Bungalow yang terbuat dari kayu itu kemudian disewakan dengan harga tidak mahal, hanya Rp1.000 hingga Rp1.500 per malam, wisatawan dapat tiga kali makan dengan lauk ikan dan daging ayam.