Bisnis.com, JAKARTA- Bertemu dengan Dalang Nanang Hape mengubah pandangan kita mengenai wayang menjadi demikian berbeda. Wayang yang pada awalnya terkesan tua dengan ritme yang lambat, mendadak berubah penuh warna, kegembiraan, dan memancing emosi penontonnya. Nanang memulainya dengan pertunjukan Wayang Urban. Sebuah pementasan wayang alternatif bagi warga perkotaan.
Dalang Nanang Hape menuturkan dirinya memang tumbuh dalam lingkungan yang kental dengan dunia wayang. Semasa SMA dia seringkali membantu Pak Lek
nya Dalang Kondo Suwarno untuk mendalang. Selepas SMA, dia melanjutkan ngenger pada Dalang sepuh Ki Gondo Suyatno di Ponorogo. Hanya butuh waktu empat bulan, untuk kemudian dalang sepuh melepasnya menjadi seorang dalang. Dia mengingat betul hasil pertama mendalang Rp180 ribu pada 1994. Saat itu dalang sepuh melepas untuk saya ndalang sendiri. Ya gak lama sebulan, ada yang nanggap buat main wayang, ceritanya.
Nanang mulai mengeksplorasi Wayang Urban sejak 2006 di Solo dan pada 2009 mulai tampil di Jakarta. Enam tahun sebelumnya, pria kelahiran 15 Agustus 1975 ini telah
mempelajari musik, penulisan naskah, teater, hingga tari dengan jalan ngenger atau nyantri pada mereka yang ahli di bidangnya. Seperti pertanda, kemampuan dalam berkesenian ini kemudian dihadapkan pada kondisi kekacauan sosial yang terjadi belakangan ini, membuatnya harus memastikan sebuah langkah. Dari sanalah gagasan unik untuk mengemas wayang klasik lebih mudah dinikmati masyarakat luas zaman ini.
Senada dengan label urban yang melekat pada pertunjukkannya, Dalang kelahiran Ponorogo 40 tahun silam ini tidak tampil tradisional sebagaimana mestinya. Ketika bertemu Bisnis, dia tampil dengan celana jeans dipadu dengan kaos putih dan rambut ikal sebahu yang membuatnya lebih mirip personel grup musik rock.
Pembawaannya yang santai dalam keseharian, tidak berarti sama ketika latihan menjelang pertunjukkan. Dia bertugas mengkoordinasikan sedikitnya 15 personel yang terlibat dalam satu kali pementasan Wayang Urban dari beragam jenis seni. Baik, teater, musik, hingga tari. Naskah menjadi acuannya dalam mengkoordinasikan tim. Saat latihan
kita seriusin membaca naskah. Setelah dipahami, sudah ditutup. Saat workshop dan pentas, mereka harus jadi diri sendiri. Saya ingin mempertahankan unsur
unik dan spontanitas dalam wayang tradisi, resepnya.