Travel

Jangan Lewatkan 6 Objek Wisata Mengenang Tsunami Aceh

Sukirno
Kamis, 26 Desember 2013 - 06:31
Bagikan

Bisnis.com, MEDAN - Pagi itu, pada 26 Desember 2004, Banda Aceh diguncang gempa dahsyat 8,9 SR yang kemudian disusul dengan datangnya air bah tsunami dari arah pantai yang maha dahsyat.

Bencana tsunami tercatat sebagai peristiwa paling tragis karena menewaskan lebih dari 240.000 jiwa dan meluluhlantakkan kota-kota di pesisir barat Aceh. Bahkan tsunami juga menerjang negeri tetangga seperti Malaysia, Thailand, Bangladesh hingga India.

Kota Banda Aceh seketika hancur, lumpuh, bahkan rata dengan tanah. Hanya beberapa bangunan yang masih kokoh berdiri dan menjadi tempat berlindung warga yang selamat dari terjangan gelombang dahsyat itu.

Kini, setelah 9 tahun lebih telah dilewati, Aceh mulai bangkit. Roda perekonomian masyarakat Aceh mulai bergulir. Bahkan, sisa-sisa keganasan tsunami 2004 itu kini dijadikan museum dan tempat wisata.

Jika Anda berkesempatan mengunjungi Kota Bumi Serambi Mekkah ini, jangan lewatkan 6 objek wisata mengenang tsunami tersebut. Yakni Museum Tsunami, PLTD Apung, Kapal Apung Lampulo, Masjid Raya Baiturrahman, Kuburan Massal, Monumen Aceh Thanks to the World.

Museum Tsunami

Megah namum mencekam. Itulah kesan yang timbul saat melihat bangunan Museum Tsunami. Betapa tidak, museum yang didesain oleh Wali Kota Bandung Ridwan Kamil yang saat itu menjadi dosen Institut Teknologi Bandug (ITB) itu menjadi penanda bencana mahadahsyat tsunami.

Gedung yang diberi nama Rumoh Aceh as Escape Hill ini berwarna cokelat dengan tembok berlubang-lubang. Jika diperhatikan dari atas akan tampak seperti gelombang tsunami. Namun, bila diperhatikan dari samping akan tampak seperti kapal lengkap dengan cerobong asap dan geladak yang luas sebagai ecape building.

Museum yang dibangun sejak 2006 oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Nangroe Aceh Darussalam-Nias ini menjadi lokasi pertama dan terlengkap menyajikan rekam jejak tsunami. Di dalamnya terdapat video, foto, serta alat peraga tsunami.

Saat memasuki halaman museum, pengunjung akan menemukan bangkai helikopter milik Polri yang menjadi saksi bisu keganasan gelombang tsunami. Helikopter itu tidak sempat terbang akibat telah dilumat terlebih dahulu oleh gulungan ombak tsunami.

Berjarak sekitar 1 Km dari Masjid Raya Banda Aceh, museum ini terlihat mencolok dibandingkan dengan bangunan lainnya. Museum yang menghabiskan dana Rp140 miliar ini memiliki efek 4 dimensi dalam menggambarkan bencana tsunami.

Museum ini diresmikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Februari 2008. Museum tsunami Aceh lokasinya terdapat di jalan Iskandar Muda Banda Aceh.

Lokasinya berada tepat di tengah-tengah ibukota Provinsi Aceh dan bersebelahan tempat wisata bersejarah lain seperti Peutjoet, Kerkhoff, Blang Padang, serta Taman Sari.

PLTD Apung

Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) Apung, kapal seberat 2.600 ton milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) ini menjadi bukti keganasan gelombang tsunami.

Kapal dengan panjang 63 meter dan luas 1.900 meter persegi ini terseret gelombang tsunami dari Pantai Ulee Lheue sejauh 5 Km. Kapal ini kemudian terdampar di Gampong Punge Blang Cut Kota Banda Aceh.

PLTD Apung ini pada awalnya didatangkan ke Banda Aceh guna memenuhi kebutuhan pasokan listrik di kota tersebut sebesar 10,5 Megawatt. Pasalnya, saat terjadi konflik di Aceh, banyak menara listrik PLN yang dirobohkan sehingga pasokan listrik terganggu.

Kini, PLTD Apung yang tersapu ombak itu tetap berada di tengah kota dan dijadikan monumen peringatan tsunami. Pemerintah Provinsi Aceh membuat taman edukasi di sekitar monumen PLTD Apung seluas 2 hektare.

Taman edukasi dilengkapi dengan catatan-catatan informasi tsunami berikut foto-foto yang diabadikan saat bencana itu menerjang. Jembatan-jembatan telah dibangun agar pengunjung dapat menikmati wisata di PLTD Apung itu.

Tidak jauh dari PLTD, terdapat sebuah prasasti setinggi 2,5 meter. Prasasti berbentuk jam bundar itu menunjukkan waktu pukul 07.55 WIB, tepat saat gelombang tsunami menyapu Aceh. Pada miniatur gelombang tsunami juga terdapat gambar timbul berbentuk rumah dan manusia hanyut tersapu tsunami.

Kapal Apung Lampulo

Kapal nelayan ini menjadi bukti keganasan gelombang tsunami berikutnya. Kapal yang saat itu baru selesai diperbaiki terseret ombak sejauh 3 Km dan mendarat tepat di atas sebuah rumah milik penduduk di Gampong Lampulo, Banda Aceh.

Masyarakat Banda Aceh kemudian menyebutnya dengan kapal apung Lampulo. Kapal ini tercatat telah menyelamatkan nyawa 59 orang yang menumpang di atasnya dari hempasan dahsyat tsunami.

Dari informasi di lokasi yang kini menjadi objek wisata tsunami itu menyebutkan sebelum kejadian dahsyat tersebut, kapal kayu dengan panjang 25 meter dan lebar 5,5 meter ini baru selesai menjalani perbaikan di tempat docking kapal Lampulo.

Adun, sang penjaga kapal sebelumnya mendapat instruksi untuk menurunkan kapal tersebut ke sungai pada hari itu, 26 Desember 2004.

Teuku Zulfikar yang berdomisili di Medan mendapat kabar dari adiknya Hasri dan Saiful bahwa kapal itu rencananya akan dibawa ke Lhoknga untuk diisi pukat.

Sebelum rencana itu berjalan, tsunami telah terlebih dahulu menghanyutkan kapal berbobot 20 ton ini ke perumahan warga yang berjarak sekitar 3 Km dari tepi sungai.

Saat ini, Kapal yang mendapat julukan 'Kapal Nuh' dari masyarakat Aceh ini ramai dikunjungi wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Kebanyakan dari mereka ingin menyaksikan langsung bagaimana sebuah kapal yang menjadi saksi bisu dahsyatnya gelombang tsunami pada 2004 silam.

Masjid Raya Baiturrahman

Masjid Raya Baiturrahman mencatat lembaran sejarah yang begitu melekat bagi masyarakat Banda Aceh. Masjid yang berada tepat di jantung Kota Banda Aceh ini menjadi tempat berlindung ribuan orang saat tsunami menyapu kota.

Masjir Raya Baiturrahman dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada 1022 Hijriyah/1612 Masehi. Masjid ini kemudian terbakar habis pada saat agresi militer Belanda kedua pada April 1873.

Empat tahun setelah Masjid Raya Baiturrahman itu terbakar, pada pertengahan shafar 1294 H/Maret 1877 M, dengan mengulangi janji jenderal Van Sweiten, maka Gubernur Jenderal Van Lansberge menyatakan akan membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman yang telah terbakar itu.

Pernyataan ini diumumkan setelah diadakan permusyawaratan dengan kepala-kepala Negeri sekitar Banda Aceh. Dimana disimpulkan bahwa pengaruh Masjid sangat besar kesannya bagi rakyat Aceh yang 100% beragama Islam.

Pada tahun 1992, dilakukan pembangunan dengan penambahan dua kubah dan lima menara. Selain itu, dilakukan perluasan halaman masjid sehingga total luas area masjid saat ini menjadi 16.070 meter persegi.

Saat gelombang tsunami setinggi 21 meter menghantam pesisir Banda Aceh pada 26 Desember 2004, masjid ini termasuk bangunan yang selamat, meskipun terjadi kerusakan di beberapa bagian masjid.

Upaya renovasi pasca-tsunami menelan dana sebesar Rp20 miliar. Dana tersebut berasal dari bantuan dunia internasional, antara lain Saudi Charity Campaign. Proses renovasi selesai pada 15 Januari 2008.

Kuburan Massal

Gelombang tsunami yang menelan korban jiwa hingga mencapai 240.000 orang tidak hilang dari ingatan masyarakat Aceh. Di Bumi Rencong itu terdapat banyak kuburan massal untuk memakamkan para korban tsunami.

Salah satu kuburan massal yang paling banyak terdapat korban dimakamkan adalah di Ulee Lheue dan Siron, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar.

Korban yang dikuburkan di kuburan missal Ulee Lheue lebih dari 14.264 orang. Kuburan massal ini biasanya dipadati peziarah yang kehilangan sanak keluarganya saat bencana tsunami meyapu pesisir Aceh pada 26 Desember 2004 silam.

Kuburan massal Ulee Lheue dibangun seperti sebuah taman dengan rumput hijau dan pepohonan rindang. Kuburan massal ini dipagari tembok yang masih dapat dilihat dari luar areal.

Lokasi kuburan yang berada tepat di tepi jalan menuju Pelabuhan Ulee Lheue tepatnya di Jalan Pocut Baren Nomor 30, ini memang mudah dijangkau. Di depan areal juga terdapat prasasti yang bertuliskan kuburan massal.

Pada gerbang masuk kuburan massal berwarna hijau ini terdapat tulisan yang diambil dari salah satu surat dalam Al-Quran. Tulisan ini membuat bulu kuduk berdiri dan siapapun akan langsung merasakan kengerian bencana tsunami.

"Tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan," (Al-Anbiya : 35).

Selain di kuburan massal Ulee Lheue, terdapat juga beberapa kuburan massal lainnya antara lain kuburan massal Lhoknga, Aceh Besar dan kuburan massal Siron di Jalan Bandara Sultan Iskandar Muda.

Di kuburan massal Siron, menjadi areal pekuburan massal terbesar di Aceh. Tercatat hampir 50.000 korban tsunami dimakamkan di areal ini sehingga kuburan massal tersebut paling banyak dikunjungi peziarah.

Monumen Aceh Thanks to the World

Monumen Aceh Thanks to the World terletak di Blang Padang, tepat di depan Museum Tsunami Aceh. Monumen ini menjadi simbol syukur masyarakat Aceh kepada relawan, LSM, lembaga-lembaga negara, perusahaan, sipil, militer, baik nasional maupun internasional yang telah membantu Aceh pasca-tsunami.

Bangunan berwarna putih tersebut terletak di sebelah utara lapangan berbentuk seperti gelombang tsunami yang mengingatkan siapa saja yang melihatnya bahwa Aceh pernah dilanda bencana mahadahsyat gelombang tsunami.

Selain monumen, rakyat Aceh mengucapkan terima kasih mereka kepada negara-negara tersebut yang telah memberikan kontribusi untuk rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh melalui prasasti/plakat persahabatan.

Disepanjang jogging track yang mengelilingi lapangan Blang Padang sepanjang 1 Km, terdapat 53 “Plakat Thank You and Peace”.

Plakat yang berbentuk kapal hampir tenggelam itu merupakan bentuk terima kasih masyarakat Aceh kepada 53 negara dan masyarakat dunia yang telah membantu Aceh pasca tsunami.

Pada plakat tersebut tertulis nama negara, bendera negara, dan rasa syukur ekspresi ‘Terimakasih dan Damai’ dalam bahasa masing-masing negara. Contohnya tugu kecil Republik Finlandia yang bertuliskan “Kiitos Rauha” yang artinya “Terima Kasih dan Damai”.

Pada awalnya lapangan Blang Padang seluas 8 Hektare itu tidak seperti sekarang ini. Dulunya lapangan ini hanya di gunakan bila ada upacara-upacara bendera yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Aceh.

Namun, kini lapangan Blang Padang Banda Aceh telah berubah menjadi alun-alunnya kota Banda Aceh semenjak lapangan ini di renovasi pasca kerusakan akibat gempa dan tsunami Aceh.

Penulis : Sukirno
Editor : Yusran Yunus
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro