Show

Taman Suropati Chamber, Komunitas Musik yang Berawal dari Keprihatinan

Deliana Pradhita Sari
Minggu, 8 September 2013 - 20:04
Bagikan

Bisnis.com, JAKARTA--Minggu pagi pukul 10, ketika melewati kawasan Taman Suropati, kuping saya dimanjakan dengan alunan nada biola yang indah oleh sekelompok anak-anak.

Namun, ketika saya mendekat, tak hanya anak-anak yang berpartipasi dalam menghasilkan lantunan musik yang indah tersebut tetapi kalangan remaja dan orang dewasa juga ikut serta.

Setelah saya memutari area tersebut, ada sosok lelaki berperawakan tinggi, besar, berjenggot, berkumis tebal dengan rambutnya yang sepanjang punggung dikuncir rapi menarik perhatian saya.

Dia sedang memberikan instruksi permainan nada kepada sekelompok pemain biola. Dia adalah Agustinus Esti Sugeng Dwiharso atau acapkali disapa Mas Ages. Ia adalah dalang dari komunitas pemain biola di taman bernama Taman Suropati Chamber (TSC).

Menyadari keberadaanku yang memperhatikannya dari samping, Ia lalu menghampiriku dengan senyuman dan kami pun berjabat tangan. Ia memperkenalkan dirinya sebagai ahli gesek.

Lelaki kelahiran Kulonprogo,7 Mei 1970 itu kemudian mengajakku duduk di samping taman, mengamati anak-anak didiknya memainkan beberapa lagu sambil sesekali mengisap rokok Marlboro nya.

Dengan logat Jawa nya yang amat kental dan nada bicara yang menggebu, ia menjelaskan konsep pendirian TSC didasari oleh keprihatinannya mengenai masa kanak-kanak era ini.

“Anak-anak jaman sekarang itu susah di-arrange, mereka mana tahu lagu daerah  atau membaca notasi balok, inilah bagian pokok kenapa budaya kita sekarang udah luntur,” katanya kepada Bisnis, Minggu (1/09/2013).

Menjamurnya mal di Jakarta juga sangat disayangkan oleh Mas Ages. “Generasi kita sudah menjadi imperialis dan komsumtif, tiap weekend orang tua cuma bisa ajak anak nge-mall, habit seperti harus kita perangi,” ujar lelaki yang mengaku sangat ambisius itu.

Lelaki yang pada 2006 diundang ke Den Haag, Belanda untuk menjadi tutor orang Eropa menyosialisasikan musik keroncong itu, melihat pemandangan unik yaitu permainan Brass Band (sekelompok marching band dengan alat tiup) di salah satu taman di Den Haag, maka sudah fix niat Mas Ages untuk mendirikan pendidikan macam ini di Indonesia.

Berdiri sejak Mei 2007, Taman Suropati Chamber yang beranggotakan 38 anggota saat itu, memfokuskan kegiatannya pada alat musik biola.

“Sistem ini saya program seperti sekolah musik, jadi ada syllabus dan handout, jadi seperti sekolah nonformal tetapi bentuknya komunitas, kata lelaki lulusan SPG Muntilan Van Lith ini.

Dia menambahkan, anggotanya tak dibatasi usia, tetapi paling banyak memang anak-anak. Komunitas yang tiap pertemuannya rutin diadakan  satu minggu sekali pada Minggu pukul 10 pagi sampai 2 siang, memiliki 100 lebih anggota yang berpartisipasi tiap minggunya. Dan kini, total terdapat 12 asisten yang membantu kinerja Mas Ages sebagai tutor.

Anggota TSC dibagi menjadi 5 kelas tingkatan level. Kelas pertama adalah kelas bibit atau new comer. Kelas kedua adalah kelas akar yang bermain tangga nada dengan jangkauan lebih panjang.

Kelas ketiga disebut kelas batang, anggotanya harus sudah sampu membaca notasi balok dan langsung memainkannya. Kelas keempat adalah kelas dahan, mereka dituntut untuk bermain ensemble biola 1 dan biola 2.

Untuk kelas level teratas adalah kelas ranting, mereka sudah menjadi asisten mengajar, memberikan arahan kepada adik-adik tingkatnya.

Tak ayal, dengan metode seperti itu TSC pernah manggung di istana negara sebanyak 2 kali dan konser di Gedung Kesenian Jakarta sebanyak 3 kali. Mereka juga mengadakan Parade senja pada 2008.

Pada 2009, TSC mengadakan konser mengenang Ismail Marzuki di Graha Bakti Budaya. Komunitas ini beberapa kali bermain di Kedutaan Besar Amerika, Singapura dan Rusia.

Komunitas yang juga mendapatkan rekor Muri pada 2010 sebagai The First Music Community in the Park ini merupakan simbol keluarga kecil yang harmonis, seiya sekata, dan sayuk rukun. Sebuah komunitas yang jika terdapat konflik akan diselesaikan bersama. Ini sebagai miniature sebuah bangsa yang harmonis, dan semua anggotanya dapat dididik.

Hal ini dapat dilihat dari orang tua atau wali murid anggota yang ikut nimbrung bersantai duduk-duduk di taman sambil bercenngkerama dengan orang tua anggota yang lain.

“Ini sistem yang sempurna ketika orang tua sibuk dengan kerjanya, anak sibuk dengan dunia sekolahnya, komunitas ini dapat dijadikan sebagai ajang family gathering yang mengusung konsep Rekreatif, Edukatif dan Kreatif yang memanfaatkan ruang publik untuk belajar,” tutur lelaki yang ingin bertemu sosok Jokowi untuk ngobrol tentang budaya bangsa.

Nawang Kinasih, salah seorang wali murid anggota komunitas TSC mengaku sudah 4 tahun menjadi bagian dari komunitas tersebut. “Sejak anak saya Tiara duduk di bangku kelas 2 sekolah dasar sampai sekarang kelas 6, saya tetap mendampinginya tiap Minggu pagi,” katanya kepada Bisnis.

Belum lagi anak saya yang pertama Wijaya, tambahnya, yang sekarang duduk di bangku kuliah telah mengikuti jejak adiknya dan sudah bergabung selama 1 tahun.

Menurutnya, pemilihan hari berlatih yaitu Minggu pagi dirasa tepat bagi Nawang. Tidak sedikitpun mengganggu waktu liburnya dan anak-anaknya.

Justru komunitas ini menjadi ajang kumpul keluarga di mana anak anak belajar sambil bermain, orang tua dapat bersantai di taman, menghirup udara segar, memanjakan mata dengan pemandangan sekeliling taman, mengobrol dan bersosialisasi dengan orang tua murid yang lain.

“Kami sudah seperti keluarga besar yang solid, kami mengarahkan anak untuk bermain dan belajar sekaligus membantu komunitas ketika mempersiapkan konser macam sosialisasi dan publikasi konser, tata rias hingga lightning,” katanya.

 

Editor :
Bagikan

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro