Bisnis.com, JAKARTA — Ada banyak hal menarik terjadi bersamaan dengan berakhirnya pandemic Covid-19. Salah satunya adalah maraknya pusat-pusat kebugaran di kota-kota besar yang membuat persaingan di industri kebugaran semakin ketat.
Adanya Covid-19 rupanya semakin meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya olahraga untuk menjaga kesehatan.
Mengacu teori Five Forces-nya Porter (1985), banyak bermunculannya pusat-pusat kebugaran lokal baru menunjukkan rendahnya hambatan masuk (low barrier to entry) ke industri kebugaran yang antara lain disebabkan semakin terjangkaunya investasi membuka pusat kebugaran karena kian banyaknya pemasok alat-alat kebugaran sehingga harganya pun semakin bersaing.
Penyebab lainnya adalah rendahnya loyalitas konsumen pada pusat-pusat kebugaran tertentu karena biaya untuk berpindah dari satu pusat kebugaran ke pusat kebugaran lain tak seberapa.
Seperti nasehat Porter yang lain, ketika tak ada perbedaan yang berarti antarpusat kebugaran, hal yang terjadi adalah perang harga. Kini untuk menjadi anggota pusat kebugaran, kita hanya cukup membayar Rp300.000—Rp500.000 per bulan.
Bisakah pusat-pusat kebugaran meraup laba dengan bermain harga? Kata Porter lagi: bisa saja, asal pusat-pusat kebugaran tersebut harus mampu mendayagunakan peralatan yang mereka miliki setinggi mungkin.
Dengan kata lain, volume penggunaan peralatan harus ditingkatkan. Itu artinya harus semakin banyak anggota yang menggunakan peralatan tersebut sehingga skala ekonomis dapat tercapai.
Syarat berikutnya adalah layanan yang ditawarkan kepada anggota haruslah standar dengan membatasi personalisasi layanan. Keinginan anggota untuk memperoleh layanan tertentu dapat dipenuhi tetapi tentu saja dengan biaya tambahan.
Selain itu, pusat kebugaran harus terus berupaya meningkatkan efisiensi dengan memangkas biaya-biaya yang tak relevan dengan layanan standar tadi, termasuk membatasi jumlah pegawai yang membantu anggota berlatih. Artinya, anggota terpaksa harus berlatih sendiri.
Pusat-pusat kebugaran macam ini biasanya tak menyewa tempat yang mahal dan lebih memilih mendekat ke daerah pemukiman warga, ketimbang di mall-mall yang harga sewanya selangit.
Porter juga menyadari bahwa strategi bermain harga bisa “membunuh” pusat kebugaran yang modalnya cekak karena belum tentu mampu mengikuti penurunan harga yang ditawarkan pusat kebugaran bermodal besar.
Oleh karena itu, Porter menyarankan untuk fokus, misalnya, ke customer experience (CX). Dengan CX, para anggota pusat kebugaran dilibatkan dalam setiap tahapan latihan dengan cara, misalnya, memberikan asesmen kebugaran yang komprehensif disertai tracking tool untuk mengetahui sejauh mana kemajuan kondisi kebugaran anggota.
Asesmen dilakukan sebelum latihan dijalankan agar program kebugaran yang disusun sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anggota. Sedangkan tracking tool berguna untuk menginformasikan anggota sejauh mana kemajuan kondisi kebugarannya menuju pemenuhan kebutuhannya.
Dengan pengetahuan dan keterlibatan tersebut, anggota akan lebih memahami dan merasa memiliki program kebugarannya sehingga dia akan menjalankannya dengan sungguh-sungguh.
Sebor (2008) pernah berujar, “Loyalty is now driven primarily by a company's interaction with its customers and how well it delivers on their wants and needs."
Adanya asesmen dan tracking tool memungkinkan adanya interaksi antara pusat kebugaran dan anggotanya, sekaligus sarana untuk melacak pemenuhan kebutuhannya. Dengan meningkatnya keterlibatan anggota dalam setiap tahapan proses kebugaran, loyalitas anggota terhadap pusat kebugaran akan tumbuh dengan sendirinya.
Sebuah penelitian yang dilakukan Ali dan kawan-kawan pada 2024 menunjukkan CX selama berlatih dan menggunakan layanan teknologi yang disediakan pusat kebugaran merupakan hal yang fundamental dalam menciptakan keunggulan daya saing.
Ali dan kawan-kawan menggunakan experiential quality untuk mengukur efektivitas CX.
Menurut mereka, ada lima dimensi yang membentuk experiential quality, yaitu interaction quality, physical environmental quality, outcome quality, access quality, dan enjoyment quality.
Hasil penelitian mereka menunjukan bahwa physical environmental quality menjadi hal yang paling berpengaruh. Intinya, ketersediaan peralatan yang berkualitas paling menentukan terciptanya CX yang efektif.
Dimensi berikutnya yang berpengaruh adalah enjoyment quality, di mana anggota menikmati kehadirannya dan senang saat berada di pusat kebugaran, mungkin karena suasananya yang nyaman dan keramahan para pegawainya.
CX yang efektif tentunya harus dikelola dan dirancang dengan baik (CX Management atau CXM) agar tak hanya diperoleh loyalitas yang tinggi dari anggota yang ada, tapi mendorong anggota yang ada untuk mengajak keluarga dan kawannya untuk bergabung melalui apa yang disebut sebagai word-of-mouth atau getok tular.
Strategi fokus dengan CXM ini bisa saja dijalankan berbarengan secara hibrid dengan strategi harga. Anggota ditawarkan iuran bulanan dasar yang nilainya relatif rendah dengan layanan standar yang anggota dapat peroleh sebagai strategi harga untuk merebut hati konsumen agar menjadi anggota.
Bersamaan dengan itu, pusat kebugaran dapat menawarkan program-program tertentu yang dirancang sesuai kebutuhan dan keinginan konsumen dan berbasis pada teknologi digital tentunya dengan biaya ekstra sebagai strategi fokus.
Mungkin strategi fokus tak efektif untuk seluruh konsumen yang berminat jadi anggota, tapi setidaknya pusat kebugaran sudah memberikan pilihan pada mereka.