Bisnis.com, JAKARTA - Per 21 Oktober 2024 lalu, Perjanjian Kerja Sama Balai Sidang (JCC) yang berada di Jalan Gatot Subroto, Kawasan Gelora Bung Karno (GBK) Senayan, Jakarta, telah berakhir antara Pusat Pengelolaan Komplek Gelanggang Olahraga Bung Karno (PPKGBK) dan PT Graha Sidang Pratama (PT GSP)
Aset berupa Barang Milik Negara Blok 14 di dalam kawasan GBK, selanjutnya akan dikelola secara mandiri oleh PPKGBK sebagai suatu Badan Layanan Umum (BLU) berdasarkan mandat yang telah diterima.
Dikutip dari laman Setneg, PPKGBK bakal menjadikan kawasan ini sebagai pusat kegiatan Meetings, Incentives, Conferences, Exhibition (MICE), terintegrasi dengan fasilitas GBK, inklusif, berkelas dunia, serta memiliki manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat dan negara.
PPKGBK juga mengucapkan terima kasih atas kerja sama, dedikasi, dan profesionalisme khususnya kepada mitra, penyelenggara kegiatan dan pengunjung dalam mendukung kegiatan MICE selama ini.
Sejarah JCC
Dilansir dari laman setneg, bentuk atap bangunan JCC yang terletak di pusat kota Jakarta ini sungguh unik, seperti mangkuk terbalik dan menjadi ciri khas yang memudahkan siapa saja untuk mengingat namanya pada era tahun 1980-an silam.
Lokasinya berada tak jauh dari Jembatan Semanggi, gedung parlemen dan kantor pusat Televisi Republik Indonesia, serta kompleks Stadion Gelora Bung Karno. Balai Sidang Jakarta, begitulah nama yang disematkan oleh Presiden Soekarno untuk bangunan yang berdiri di atas lahan seluas tiga hektare tersebut.
Mulai dibangun pada 8 Februari 1960 silam, Balai Sidang Jakarta dan sejumlah bangunan seperti disebut di atas mulanya menjadi salah satu rencana besar Bung Karno untuk memamerkan kekuatan Indonesia dan kemegahan Jakarta saat dicetuskannya Pesta Olahraga Negara-Negara Berkembang (Ganefo) sebagai alternatif perhelatan multicabang melebihi Olimpiade. Acaranya direncanakan digelar pada 10--22 November 1963.
Namun, dalam perkembangannya, seperti diungkapkan sejarawan Adolf Heuken, penulis Sejarah Jakarta Dalam Lukisan dan Foto, ajang tersebut tidak memakai bangunan Balai Sidang karena belum rampung dikerjakan. Pembangunannya saat itu menghabiskan biaya sebesar USD12,5 juta atau sekitar Rp187,5 miliar.
Arsitek Soejoedi Wirjoatmodjo yang pernah mengenyam pendidikan arsitektur Prancis, Belanda, dan Jerman tersebut terpilih untuk mendesain dan membangun Balai Sidang. Menurut Bagoes Wiryomartono dalam Soejoedi and Architechture in Modern Indonesia yang dimuat pada Journal of Architectural Research, 6 Juni 2016, menyebutkan, Soejoedi adalah salah satu arsitek asli Indonesia pascakemerdekaan yang meletakkan dasar desain modernis.
Desain modernis itu sebagai upaya Soejoedi untuk lepas keterikatan gaya kolonialisme yang masih tersemat pada banyak bangunan lama di tanah air. Ia diketahui merancang sejumlah bangunan ikonik di awal 1960-an seperti Gedung MPR/DPR/DPD RI, Gedung Sekretariat ASEAN Jakarta, Kementerian Pertanian, Gedung Manggala Wanabhakti, Kantor Kementerian Perhubungan, dan beberapa kantor Kedutaan Besar Indonesia seperti di Kuala Lumpur dan Kolombo.
Balai Sidang akhirnya rampung pada 1974 dan memiliki Plenary Hall, sebuah auditorium besar berkapasitas 5.000 orang yang dinaungi oleh atap kubah (dome) raksasa seperti diceritakan di awal tulisan. Bangunan tersebut kemudian langsung dipakai untuk konferensi tahunan Asosiasi Biro Perjalanan Asia Pasifik (PATA) ke-23, April 1974. Perhelatan PATA ke-23 ini menjadi awal mula perjalanan Balai Sidang Jakarta dikenal sebagai pusat konvensi terbesar di tanah air pada masanya.
Renovasi
Balai Sidang Jakarta mengalami renovasi besar-besaran setelah Indonesia ditunjuk menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi ke-10 Gerakan Nonblok pada 1992 silam. Hal itu dilakukan untuk mengakomodasi perhelatan besar yang mengundang 62 pemimpin dan kepala negara anggota Nonblok serta delegasi dari 109 negara. Presiden Kedua RI Soeharto meresmikan wajah baru Balai Sidang Jakarta, 25 Agustus 1992 atau 31 tahun silam.
Setelah direnovasi, Balai Sidang memiliki 13 ruang pertemuan berbagai ukuran. Lahannya pun bertambah menjadi 12 ha pascarenovasi. Selain Plenary Hall, ada pula Assembly Hall seluas 3.921 meter persegi dan sanggup menampung 4.500 orang. Masih ada Cendrawasih Room seluas 2.109 m2 serta 10 ruang lain yang mampu mengakomodasi antara 20-1.000 orang.
Sebuah terowongan bawah tanah ikut dibangun menghubungkan pusat konvensi tersebut dengan sebuah hotel besar yang berada di dekatnya. Koridor bawah tanah ini ikut dilengkapi travelator (tangga jalan datar). Usai renovasi, namanya pun diubah menjadi Jakarta Convention Center (JCC).
Seperti dikutip dari website pengelola, hasil renovasi membuat JCC mempunyai dua ruang besar untuk kebutuhan pameran yaitu Exhibition Hall A dan B yang masing-masing luasnya 3.060 m2 dan 6.075 m2. Kedua ruang pameran tersebut dihubungkan oleh koridor atau selasar seluas 450 m2. Pascaperhelatan KTT ke-10 Nonblok, pamornya sebagai lokasi konvensi semakin diminati.
Sampai hari ini, tercatat sudah lebih dari 30 ribu perhelatan diadakan, mulai dari acara wisuda perguruan tinggi, pertemuan tingkat nasional dan internasional, pameran produk kerajinan dan otomotif. Konser musik artis ternama Indonesia dan dunia ditambah festival musik jazz kelas dunia pernah diselenggarakan di lokasi yang pengelolaannya kini berada di bawah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tersebut.