Hendro Fujiono/Jibi
Relationship

Aplikasi Ilmu Reply

Newswire
Minggu, 2 September 2018 - 20:58
Bagikan

Can't keep up with the volume, too busy, too much things to do. Kurangnya waktu adalah masalah klasik yang semakin terasa pada saat ini. Beberapa orang cukup lega ketika saya sampaikan itu semua adalah tema umum yang saya jumpai dari pemimpin bisnis.

Lebih jauh lagi, sekarang cukup umum ditemui pemimpin bisnis yang merasa harus turun sangat jauh ke bawah beberapa level untuk memastikan things are getting done properly.

Waktu untuk strategic thinking sekarang dirasakan sebuah privilege kendati sejatinya strategic thinking adalah kebutuhan dan penting bagi pemimpin.

Merasa tidak punya cukup waktu menjadi tema ketika tuntutan untuk efisiensi hadir semakin deras. Doing more with less menjadi mantra di mana-mana.

Tanpa disadari menjadi efektif dilupakan. Playing catch up with volume menenggelamkan diri dalam detail dan rutinitas. Tentu sangat baik ketika rutinitas memang menghasilkan nilai tambah. Kenyataannya, ada banyak rutinitas dilakukan tanpa pemahaman akan manfaat dan tujuannya. This is like rounites with no meaning.

Di banyak organisasi dan industri, keluhan akan banyaknya rutinitas tak bermakna banyak terlontar dari orang-orang yang kompeten dan potensial. Ini bisa jadi hanya soal miskomunikasi mengenai purpose atau konteks dari tugas yang mereka kerjakan. Tetapi juga bisa juga menjadi indikasi betapa banyak sumber daya manusia unggul yang disia-siakan.

Dalam konteks ini, refleksi perlu dilakukan. Apa yang dilakukan orang-orang terbaik di organisasi kita? Do we make our best people doing the most important jobs in our business? Or they are just trapped in routines?

Tidak menjadi masalah tentunya ketika rutinitas itu adalah value-based routines. Menjadi masalah ketika rutinitas hanya menjadi bagian ticking-the-box exercise. Apakah kita mau orang-orang terbaik dalam organisasi kita kerjanya hanya merespons dan menjalankan instruksi?

Ketika ini sudah terjadi, tidak mengherankan seorang kolega senior memperkenalkan istilah "ilmu reply". Ketika sumber daya hanya mampu berfungsi seperti mesin untuk me-reply-merespons sebuah keadaan. Di banyak situasi ini menjadi refleks. Thinking is missing in the process.

Ini seperti observasi kolega senior ketika melihat banyak orang yang chatting mengetik "lol" - laugh out loud, atau "hahahaha" tanpa sedikit pun ekspresi tersenyum ketika membaca pesan yang masuk. Somehow the brain, the facial expression and the fingers that typing the message are disconnected. Ini tak ubahnya dengan disconnection antara rutinitas organisasi dan value yang ingin dihasilkan atau tujuan yang ingin dicapai.

Signal and Noise

Di dunia yang menuntut do more with less ini, setidaknya ada dua tingkatan dari ilmu reply ini.

Yang paling bawah adalah ilmu reply yang berfokus kepada volume tanpa mengindahkan apakah yang perlu di-reply dan direspon itu sinyal atau noise. Tanpa disadari, banyak waktu dihabiskan untuk noise.

Yang menjadi mengherankan ketika menjadi sibuk me-reply noise menjadi sebuah kebutuhan. Kita seperti menjadi penganut sejati ilmu reply to noise. Dalam situasi ini sejatinya kita sedang menyia-nyiakan salah satu aset kita yang paling berharga, our brain. Help, thinking is missing!

Tingkatan yang kedua adalah ilmu reply yang hanya fokus merespons sinyal. Pemilik ilmu ini memiliki kemampuan dan sense untuk membedakan sinyal dan noise. Ilmu yang relevansinya menjadi semakin tinggi di era digital ketika arus informasi mencapai volume yang sangat tinggi seperti saat ini. Tidak heran ini menjadi lahan bisnis tersendiri.

"Kasih kesimpulannya aja". Itu respons dari mayoritas rekan ketika saya merekomendasikan artikel atau buku bagus untuk mereka baca. They just want to go straight to the important points. Tidak heran lalu kita lihat ada blinkist start-up yang menawarkan key take-aways dari non fiction books yang diklaim akan memudahkan kita memahami isi sebuah buku dalam belasan menit saja.

Ada juga bisnis yang menawarkan daily update of financial news in just three minutes. Saya sebagai salah satu konsumen-nya merasa dibantu untuk benar-benar membaca yang penting saja.

Ketika efisiensi menjadi raja dengan mantera do more with less, seringkali efektivitas dilupakan. Padahal menjadi lebih efektif adalah the license to play the "to do more with less" game.

Membedakan sinyal dan noise baru langkah awalnya untuk menjadi lebih efektif karena akan fokus melakukan yang penting dan relevan saja. "Less is more"

Lebih jauh lagi, kemampuan membedakan sinyal dan noise akan membantu kita naik tingkat dari sebatas "reply" yang lebih banyak soal bereaksi dan merespons, menjadi lebih proaktif berkreasi dan mengantisipasi.

This is what leaders do - to understand what's happening and to anticipate what's coming.

Penulis : Newswire
Bagikan

Tags :


Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terkini

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Terpopuler

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro