Inti dari materi artikel ini pasti Anda telah ketahui: kebaikan yang berbalaskan keburukan. Suatu hal yang sangat tak dikehendaki oleh yang memberikan susu. Tetapi bagi yang memberikan tuba, bisa jadi merupakan hal yang dia sesali. Dalam hal ini kalau dia menyadarinya.
Bisa jadi pula tak ada rasa sesal, itu karena dia tak menyadari bahwa perbuatannya menghasilkan keburukan bagi sang pemberi susu kepadanya. Bisa jadi pula, sang pemberi tuba ini malah senang sekali karena dia punya dendam terpendam selama ini.
Sorang kakak sulung yang memiliki empat orang adik, berkisah, “Saya sejak bekerja selalu ingat nasib adik-adik saya yang masih membutuhkan banyak biaya untuk pendidikan. Mengandalkan biaya dari orang tua, tak mungkin. Karena beliau-beliau bukan orang yang berada. Alhamdulillah mereka sekarang sudah pada lulus kuliah dan bekerja. Bahkan sudah ada yang menikah.”
Dia berhenti bertutur kata, sembari menarik nafas dalam. “Saya sebetulnya sedih melihat salah satu adik saya yang sudah menikah. Dia lupa sama sekali kepada keluarga, termasuk kepada orang tua, adik-adik lain dan bahkan saya sendiri. Saya tak tahu mengapa demikian.” Dia tercenung, muram.
Kisah di atas adalah suatu contoh sebagaimana pemikiran Alexandra Bracken, penulis novel laris, Brightly Woven, “Pengkhianatan dalam keluarga adalah kejadian yang paling menyedihkan, karena bila Anda tak mempercayai keluarga Anda tak mencintai dan melindungi Anda, kepada siapa lagi Anda harus percaya?”
Seorang eksekutif suatu perusahaan, dikenal sebagai eksekutif yang piawai dalam profesinya. Dia melesat dalam karirnya bak meteor. Suatu hal yang tentu menggembirakan bagi yang bersangkutan. Hanya, ternyata kemudian dia lupa daratan. Dia mabuk kuasa. Dia menyangka dan bahkan mengumbar suara, bahwa perusahaan yang dia pimpin, dan kemudian sukses adalah berkat dirinya semata.
Dia mengabaikan kenyataan, bahwa perusahaan tempat dia bekerja sudah sejak lama dikenal sebagai perusahaan yang “mapan dan kuat”. Perusahaan itu adalah suatu organisasi bisnis yang secara sistem dan kulturnya sudah sejak lama dikenal sebagai perusahaan hebat.
Dan karena kecenderungan “sudah duduk lupa berdiri”, manakala dia pensiun, sesuai aturan perusahaan yang berlaku, dia tak bisa menerima kenyataan itu. Dia menolak pensiun. Tetapi peraturan adalah peraturan yang harus dijalankan. Dia harus mundur. Dengan terpaksa, dia pun dipensiunkan.
Dan disinilah masalah besar mulai timbul. Dia yang marah karena dipensiunkan itu, mulai membuat cerita-cerita buruk mengenai bekas perusahaan dia bekerja. Bahkan dia membuat keruh hubungan para mitra bisnis dengan manajemen perusahaan dia bekerja. Dia mengacaukan segenap proses bisnis yang sebelumnya berjalan sangat baik. Dia mengadu domba ke segala jurusan. Dia jelas-jelas terlihat ingin merusak perusahaan itu.
Dia lupa, bahwa dia ada dan menjadi kaya karena perusahaan. Tentu secara bersimbiosis mutualisme, dari hanya memiliki sebuah motor dan waktu berjalan hingga dia menjadi sangat kaya. Namun, begitu teganya dia merusak dan mengkhianati perusahaan yang membesarkannya. Air susu dibalas dengan air tuba.
Dalam dunia politik, terlebih lagi. Seorang politikus berpindah dari satu partai ke partai lain, dan kemudian melakukan prinsip sama: dia mengudarakan keburukan partai lamanya yang telah mengembangkan dirinya menjadi politikus yang cukup dikenal. Di partai barunya, dia berbusa memuji setinggi langit partai barunya itu. Di saat yang sama dia mengupas habis segala kelemahan dan kekurangan partai lamanya.
Ray Davies, musisi Inggris, pemimpin band The Kinks, mengatakan, “uang dan korupsi telah menghancurkan lahan, para politikus yang rakus telah mengkhianati para pekerja, menguras pajak dan memperlakukan kita seperti unta, dan kita lelah mendengarkan janji-janji mereka yang tak akan pernah mereka penuhi.”
Melihat pelbagai model air susu dibalas air tuba ini dalam pelbagai bidang kehidupan, saya sampai nyaris percaya dengan renungan Jean Renoir, sutradara film Prancis, “apakah ada kesuksesan tanpa suatupun pengkhianatan?”
Namun demikianlah realita kehidupan yang ada. Kesenangan dan kepahitan kehidupan berjalan berdampingan, seiring sejalan. Ada kalanya kita mendapatkan suatu kesenangan tak terkira, yang tak kita duga. Misalnya, seperti seorang kawan saya yang mendapatkan door prize mobil mewah dari suatu mal dari hasil pengundian voucher pembelanjaan yang selama ini ia lakukan di mal tersebut.
Namun kepahitan demi kepahitan hidup pun, sejatinya, layak kita terima pula dengan ikhlas. Misalnya, manakala datang suatu penyakit ke diri kita, kita perlu mengingat, bagaimana selama ini kita telah mendapatkan limpahan kesehatan yang baik. Ini kembali kepada rumus dasar spiritual, Tuhan Yang Maha Esa akan memberikan kebutuhan-kebutuhan kita, bukan sekedar keinginan-keinginan kita. Dan rumus dasar spiritual pula, segala sesuatu akan datang silih berganti.
Menyadari realita kehidupan demikian, saya berusaha untuk terus belajar menghayati dan mempraktekkan rumus hukum alam: siapa menabur, dia akan menuai. Kalau saya senang menabur keburukan dan kejahatan, hanya tinggal menunggu waktunya saja, saya akan menuai kepahitan karena tindakan buruk dan jahat saya.
Sebaliknya, bila saya terus berusaha, dalam segala hal untuk terus melakukan ucapan dan perbuatan-perbuatan baik, saya yakin, pada saatnya saya akan menikmati nikmatnya hasil kebaikan-kebaikan saya itu.
Mempraktikkan apa-apa yang saya katakan di atas, sungguh sangat tak mudah. Godaan demi godaan untuk melakukan ucapan atau tindakan-tindakan buruk selalu saja datang. Hanya dengan keyakinan penuh akan rumus alam yang positif itu, dan keteguhan pikiran yang ekstra kuat akan membuat kita mampu menepis godaan-godaan itu.
Saya sangat menghayati dan sepakat dengan ucapan William Wordsworth, seorang penyair Inggris abad 19 ini, “alam tak pernah mengkhianati orang-orang yang mencintainya.”
Relationship
Air Susu Dibalas Air Tuba
Penulis : Pongki Pamungkas Penulis The Answer Is Love, All You Need Is Love, dan To Love and To Be Loved
Editor : Bambang Supriyanto