“Kompromi adalah suatu seni untuk memotong kue, sedemikian rupa sehingga setiap pihak yakin bahwa dia mendapat bagian terbesar” (Ludwig Erhard).
Suatu kala Anda melakukan suatu kompromi dengan istri tercinta. Anda diajak sang istri ke suatu perjamuan terbatas, grup sang istri, suatu grup sosial yang biasanya hanya dihadiri ibu-ibu. Kali ini, Anda diajak karena kali ini pula semua pasangan diajak. Hari itu adalah hari ulang tahun klub sosial mereka.
Anda dengan ogah-ogahan, Anda katakan ikut dengan syarat, Sabtu Minggu mendatang akan nge-gowes dengan kawan-kawan ke luar kota. Istri setuju. Terwujudlah kompromi yang saling menyenangkan. Jadilah suatu definisi, “kompromi adalah suatu persetujuan dimana kedua belah pihak mendapatkan keinginan masing-masing”.
Yang namanya kompromi, boleh saya katakan, adalah pelumas roda kehidupan. Bertaburan dan bertebaran dalam pelbagai sisi kehidupan manusia.
Itu terjadi dalam hubungan suami istri, orang tua anak, sejawat di kantor, atasan bawahan, penjual dan pembeli, pedagang satu dengan lainnya, pemerintahan suatu negara dengan negara lainnya. Kompromi adalah pelicin roda kehidupan.
Kata kompromistis, yang merujuk kepada para pelakunya, bisa ditafsirkan sebagai sebuah predikat yang positif, bisa juga negatif. Hal itu bergantung pada persoalannya. Kompromi bukanlah suatu hal selalu layak dipuji. Sebaliknya, kompromi bukan suatu hal yang nista.
Mari kita lihat, seandainya Anda adalah seorang penganut paham “berkompromi dalam segala hal”. Anda, dalam hal ini adalah seorang yang ultrakompromistis. Apa saja yang Anda miliki dapat dipertukarkan, dengan landasan kompromi. Lawan negosiasi Anda, dengan segala permintaannya, Anda penuhi.
Pertanyaan untuk ini adalah, “Bila Anda secara konstan melakukan kompromi dalam segala bidang kehidupan Anda, bagaimana caranya Anda dapat meraih potensi terbaik Anda?”
Bila Anda seorang mahasiswa, dan Anda selalu kompromis terhadap ajakan pacar untuk menonton, misalnya padahal ujian kuliah terbentang esok hari dan sepekan ke depan?
Hidup memang bukanlah soal hitam putih. Hidup juga terdiri atas nuansa yang berjenjang, dari putih hingga abu-abu, dan warna-warna lain hingga kemudian menuju ke arah hitam pekat.
Namun, bila kita tak memiliki suatu pijakan yang jelas antara does and don’t, kita adalah layang-layang yang mengembara tanpa arah tujuan. Kita “ngeli dan sekaligus keli”. Kita menghanyutkan diri dan akhirnya terhanyut sepenuhnya. Kita akan tenggelam ke dalam dasar perairan yang tak jelas rimbanya.
Jelas pula, bila sikap itu Anda terus menerus lakukan, persepsi pun akan timbul terhadap Anda sebagai orang yang lemah. Seorang yang tak berpendirian. Seorang yang tak berprinsip. Tak berkarakter. Seorang yang pagi adalah tempe, dan sore menjadi kedelai. Seorang yang plin plan. Kata Iron Lady, Margareth Thatcher perihal ini, “Bila Anda telah men-set untuk menjadi orang yang disukai, Anda harus bersiap-siap untuk berkompromi, dalam segala hal, setiap waktu. Anda tak akan mencapai apa pun”.
Kita tahu, bagaimana kekerasan hati Iron Lady ini. Ketidaksukaan akan kompromi membuat Inggris menjadi negara yang ‘menyulitkan’ bagi negara yang berhubungan dengannya, sekaligus menjadi negara yang amat disegani. Secara personal, dia adalah tokoh wanita yang mampu ‘menundukkan’ para politisi Inggris yang kala itu nyaris 100 persen dikuasai oleh lelaki.
Itu adalah kategori pertama kelompok yang sangat fleksibel, sangat kompromistis. Hal itu berisiko besar akan membuahkan hasil buruk.
Cenderung Kaku
Kategori kedua adalah orang-orang yang dalam banyak hal tak suka berkompromi. Mereka ini cenderung kaku. Namun, mereka tetap membuka peluang untuk kompromi. Dia akan menolak permohonan izin anak gadisnya untuk menonton film bersama pacarnya. Dia hanya mengizinkan jika sang anak ditemani oleh salah satu kerabatnya.
Hingga muncul pernyataan ini, “kompromi adalah pekerjaan mereka yang matang”. Kedewasaan seseorang, salah satunya, dapat diukur dari prinsip dan praktik kehidupannya dalam berkompromi. Golongan ini adalah golongan yang mengutamakan win-win solution.
Bagi kelompok kedua ini, kompromi itu baik, sepanjang dipikirkan segala konsekuensinya, segala baik -buruknya. Kompromi itu sehat asalkan tak memperjualbelikan kehormatan, martabat, dan integritas.
Dalam pepatah Jawa, mereka ini adalah orang yang sudah pandai mewujudkan falsafah “ngono yo ngono, ning ojo ngono” alias begitu ya begitu tetapi jangan begitu. Dalam kasus ini, kompromi itu baik, tetapi jangan berlebihan. Demikianlah, segala sesuatu yang berlebihan itu tak baik adanya.
Pada sisi ekstrim yang lain, tiada dikenal apa yang disebut sebagai kompromi. “Target kami bukanlah negosiasi. Target kami adalah berakhirnya sistem apartheid. Dalam soal ini kami tak mengenal kompromi,” kata Oliver Tambo, Presiden Kongres Nasional Afrika manakala gejolak perlawanan apartheid semakin membuncah di Afrika Selatan.
Pada Perang Dunia II, Jerman di bawah Hitler berhasil menaklukkan banyak negara Eropa tetapi gagal menundukkan Inggris yang dipimpin oleh Winston Churchill. Dia kokoh memegang prinsip anti komprominya, bahkan harus bertikai dengan para rekan politikus senegaranya.
Churchill pun terkenal dengan pidatonya yang menggelegar, mengajak bangsanya untuk “Never ... never give up!!!” Jangan pernah menyerah!!!
Moralitas kompromi terdengar kontradiktif. “Kompromi, pada umumnya adalah pertanda kelemahan, atau suatu gejala ke arah kekalahan. Orang-orang yang kuat tak akan berkompromi, dan sebagaimana dikatakan, hal-hal prinsip tak boleh dikompromikan,” kata Andrew Carnegie.
Semuanya berpulang kembali ke kita. Mau memilih sikap pertama, kedua, atau ketiga. Masing-masing ada plus dan ada minusnya. Demikianlah, kembali hakikatnya, hidup adalah soal pilihan. Silakan memilih.
Relationship
Kompromi Bukan Berarti Lemah
Editor : Bambang Supriyanto